dan nikmati setiap prosesnya.

Saturday, December 21, 2013

[ Day 6 : Nanar ]

  
Saat itu pukul 11.00 malam. Setelah memutari bundaran senayan dari tenangnya perumahan di Kebayoran Baru, Jaksel aku berbelok ke kanan menyusur Jalan Jedral Sudirman mengndarai motor berplat AE hitam. rasanya aku sedang menempuh lorong waktu yang besar memanjang dengan tiang-tiang bangunan yang gemerlap mencakar langit malam di sepanjang pandangan depan, kanan dan kiriku. Aku sebebas-bebasnya memuntur handel gas di lengan kananku mendorong lebih pekat asap knalpot sehingga akselerasi motor tua ini meningkat melewati Plaza FX Sudirman hingga depan Gelora Bung Karno dengan sekejap.

Belum puas, aku sedikit menirukan gaya ala pembalap Moto GP saat berpindah haluan di perempatan Semanggi. Menghindari pembatas jalan, masuk jalur cepat, melewati fly over dan kini sisa Jalan Sudirman yang teramat lebar itu benar benar menunjukkan betapa asiknya bersepada motor ria di ibukota. Apalagi lampu pemberhentian yang selalu memberikan warna hijau. Tak ada pengjalang. Pancuran Bundaran HI juga begitu enak dinikmati sesaat saat aku melintasinya cepat di sela beberapa mobil yang berjalan melambat. Hingga sampailah aku di Jalan Thamrin yang dipenuhi kantor para menteri juga pejabat negeri. 

Patung pacuan kuda di pojok Monas pun terlihat mengkilat putih dan aku menurunkan energi motor tua ini. Melambat pelan memutari bundaran kecil di depannya. Berbelok ki kanan lagi dan akhirnya si lampu merah memberhentikanku, walau sebenarnya bisa saja aku tetap jalan seperti beberapa pengendara yang lain. Kutengok sepasang jarum di lingkar hitam lengan kiriku. 11.20. Ebuseeeeeet. 20 menit Dari ujung Sudirman hingga akhir Thamrin. Padahal jika siang hari aku harus berjuang melampauinya 2 jam dan berlipat 2 kali jika sore menjelang. dan ternyata jika malam, sepinya ga ketulungan.

Oke, kini aku menuju arah Pasar Senen di Jalan Merdeka Selatan. Pucuk emas Tugu Monas terlihat samar di sisi kiriku. Setelah melewati kantor Pak Jokowi di sisi kananku, aku berbelok ke kiri, kemudian memutar balik mengikuti jalur sehingga nampak di depanku rampu penunjuk jalan, arah Pulo Gadung. Aku berbelok serong ke kiri dan lampu merah berikutnya pun menyambutku kembali. Aku berhenti ikut menghitung detik waktu di atas kepalaku menunggu waktu.

Setelah kembali menghijau aku berjalan perlahan. Sebelum mencapai perempatan berikutnya nampak di depan sana dua orang pemuda sedang ringkeh mendorong motor mio hitam. Satu mengahndel setir di depan dan satunya lagi membungkuk mendorongnya. Aku tertarik iseng untuk menyapa mereka berdua dan menawarkan beberapa pertanyaan.

   "Kenapa mas motornya?"
   "Wah, bensin saya habis mas"
   "Walaaah, emang kalo pom bensin di deket-deket sini dimananya?"
   "Ada kok di depan, agak jauh sih"
   "Oh, ada ya. Saya bantuin dorong deh"
   "Beneran mas??"
   "Ayo naik saja kalin."

Dan begitulah kami berkenalan.

Setelah mempaskan sendal jepitku di footstep motor mereka dan ritme kecepatan kami berdua mulau senada kami melewati perempatan berikutnya itu dengan lebih perlahan. Aku yang tidak tahu menahu pom bensin terdekat di daerah monas itu berencana mendorong mereka berdua ke arah Pulo Gadung sesuai tujuanku hingga ketemu logo merah-biru-hijau pertamina. Namun di tengah perjalanan di ujung perempatan mereka membelokkan motornya ke kanan sehingga aku hampir menabrak mereka, dan kami pun berhenti mendadak.

   "Loh, kenapa mas?"
   "Pom bensinnya ada di sebelah sana mas"
   "Disana dimana?"
   "Cikini"
   "Arah menteng ya?"
   "Iya agak ke dalem"
   

Aku terhenyak beberapa saat. Hingga kemudian mas yang tadi duduk di belakang motor mio itu menawarkan diri untuk menguruang beban kaki kiriku.

   "Wah, terima kasih lho mas. Ada kok di sana. Biar cepet saya duduk di belakang mas aja ya?"
   "Aku mengiyakan saja"

Dan kini aku mendorong satu orang di motor mio nya san satu lagi duduk tepat dibelakangku. Perempatan besar Tugu Tani itu pun terlewati kami bertiga sejurus dengan pikiranku yang kemudian melasat jauh entah kemana. Muncul argumen, insting dan pikiran "asing" dan "aneh" untuk dua pemuda ini Sejalan dengan degup jantung yang tiba-tiba beresonansi lebih beriak, mendetak cepat membuatku tegang dan otakku sedikit memanas.

Jalan yang kini kami lewati menjadi lebih gelap. Ke arah Menteng, sebuah perumahan elit mewah yang masih terbilang hijau. Banyak pohon tinggi dan rumah megah yang kebanyakan terlihat kosong sepi. Jalannya jika magrib dipenuhi pedagang kaki lima menjajakan makanan. Tapi jika malam jam setengah dua belas seperti ini berubah drastis menjadi dingin mencekam. Satu lagi tentang jalan di daerah menteng adalah sangat banyak dan berkelok-kelok. Jujur saja aku belum hafal daerah ini. Hampir 5 kali mencari arah Taman Untung Suropati aku tersesat dan menyusur jalan berbeda. Itu masih siang hari. Dan kini, malam sepi dengan dua kenalan bari yang "asing" dan "aneh" di kiri dan belakangku.

Keduanya tak jauh beda. Mungkin umurnya juga sama denganku. Dengan berkaus dan bercelana pendek menunjukkan bahwa mereka "orang sini". Apalagi dengan tidak membawanya helm saat mereka main dan nongkrong di daerah monas. Seperti penuturan mereka.

   "Emang dari mana mas?" Tanyaku melelehkan pikiran.
   "Tadi habis nongkrong sama temen-temen, eh bensin kehabisan"
   "Kok ga di sms aja?"
   "HP dua duanya mati mas"
  
Cukup mempelantingkan lebih jauh pikiranku. Nongkrong sama teman-teman katanya. Teman-teman dalam bahasa mereka kuterjemahkan dengan konsepsi lain. Sebuah konspirasi atau sindikat. Niat baik di awal terbalik menjadi kecurigaan yang menjadi-jadi.

Jangan-jangan di depan sana secara sekejap beberapa orang mencegat kami dan umpan mereka berhasil menjadikan aku mangsa empuk untuk jadi korban pemerasan yang kesekian kalinya di Jakarta. Atau mungkin saja secara tiba-tiba sebuah bilah tajam didaratkan pelan di tipisnya kulit leharku yang sedari tadi berkeringat dingin. Oleh tangan pemuda yang duduk menjepi badanku dengan kedua kakinya yang lebih besar dariku. Kemudian yang di kiriku secara cepat menghentikan motor mionya dan melontarkan kata-kata kasar dengan muka garang di depan mataku menginginkan isi tas juga saku ku. Atau yang paling sederhana pemuda yang di belakang sedang menyelidiki isi tas kosong di pelukan punggungku juga isi saku di celanak sedang yang di kiriku membaca situasi mencari momentum tersepi melakukan aksi.

Ah....semua semakin mecekam. Mereka banyak sekali bertanya dan bicara, namun aku semakin kaku untuk berkata-kata. Aku kembali mengingat ingat gerakan pencak silat yang diajarkan pelatih saat di kampung dulu. Bagaimana mengunci, bagaimana melaskan kuncian tangan, bagaimana menagkis serangan dan memberikan balasan tendangan lalu kabur secepat-cepatnya. Opsi kedua adalah aku meninggalkan pemuda yang menyetir moi dengan menarik gas penjang kemudian mendorong yang dibelaknagku hingga jatuh tersungkur di aspal. Dan semuanya membuyar saat kami berpapasan dengan beberapa pekerja proyek yang sedang memperbaiki jalan. Aku sedikit tenang. Agak ramai. Kutanyakan kembali pada mereka

   "Pom bensinnya mana sih mas?" 
   "Itu mas, udah deket kok"

Dalam hati "dari tadi udah deket mulu, mana?". 

Aku mencoba menenangkan pikiran. Entah sudah berapa kali kutarik nafas panjang mengatur tempo jantung yang sedari tadi berguncang kencang. Menjaga denyut nadi agar tak lagi nanar mengalirkan terlalu banyak darah ke otak. Hingga akhirnya saat ini kuharapkan hanya satu. Aku ingin segera bertemu pom bensin dan pulang di kasur kosan kecilku yang dingin keras. 

Setelah hampir setengah jam bertemu di Tugu Tani akhirnya terlihat juga silau merah-biru-hijau pertamina itu. Aku meningkatkan kecepatan ingin segera mengakhiri drama di hati yang mendekati klimaks. Hingga akhirnya sampailah kami tepat di depannya, di lampu putihnya yang terang. Mungkin paling terang di perumahan Menteng yang tadinya mencekam. 

Dengan tangan yang masih dingin kaku aku menjabat mereka cepat. Kemudian merogoh isi saku, dompet dan HPku, setelah dirasa masih utuh aku pun menjalankan motor cepat ke depan. Walau aku tak tau ujung jalan ini kemana. Mereka menyapaku kembali dan aku hanya mengacungkan jempol kiriku ke atas sampir melempar senyum kusut.

Haaah. Sepertinya pahala niat baik ini bakal terhapus oleh kecurigaanku yang terlalu  berpangkat dan bereksponensial. Teramat menjadi-jadi. 

Tapi jika kalian berani mencoba silahkan saja. Jam setengah dua belas malam melawati suatu masa yang "asing" dan "aneh" di tempat yang "asing" dan "aneh" pula.
  


Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Jeda . . .
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham | Distributed by Tech Leaps

Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top