dan nikmati setiap prosesnya.

Monday, March 25, 2013

[ Catatan Perjalanan Semeru, Menuju Puncak Abadi Para Dewa - Part. 4 ]

24-27 Agustus 2012, Summit Note



   Mendaki melintas bukit

   Berjalan letih menahan menahan berat beban
   Bertahan didalam dingin
   Berselimut kabut `Ranu Kumbolo`
   Menatap jalan setapak
   Bertanya-tanya sampai kapankah berakhir
   Mereguk nikmat coklat susu
   Menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda
   Bersama sahabat mencari damai
   Mengasah pribadi mengukir cinta
   Mahameru berikan damainya
   Didalam beku `Arcapada`
   Mahameru sebuah legenda tersisa`Puncak Abadi Para Dewa`.....


~Mahameru - Song of Dewa19 (1994)~





       Selalu di bagian akhir cerita ini ane menyebut kata 'dewa'. Emangnya di Mahameru memang ada 'dewa'? 'Dewa' apaan? Wallahu alam. Ane cuma terinspirasi dari lagu di atas. Yang menyebut bahwa Puncak Mahameru merupakan 'Puncak Abadi Para Dewa'. Mungkin karena tanah tertinggi di seluruh Jawa, dimana Pulau Jawa kan kaya akan banyak dewa-dewa agama Hindu-Buddha di jaman dulu. 

       Sumber dari Om Wiki, menurut kepercayaan masyarakat Jawa yang ditulis pada kitab kuna Tantu Pagelaran yang berasal dari abad ke-15, pada dahulu kala Pulau Jawa mengambang di lautan luas, terombang-ambing dan senantiasa berguncang. Para Dewa memutuskan untuk memakukan Pulau Jawa dengan cara memindahkan Gunung Meru di India ke atas Pulau Jawa. Dewa Wisnu menjelma menjadi seekor kura-kura raksasa menggendong gunung itu dipunggungnya, sementara Dewa Brahma menjelma menjadi ular panjang yang membelitkan tubuhnya pada gunung dan badan kura-kura sehingga gunung itu dapat diangkut dengan aman.

       Dewa-Dewa tersebut meletakkan gunung itu di atas bagian pertama pulau yang mereka temui, yaitu di bagian barat Pulau Jawa. Tetapi berat gunung itu mengakibatkan ujung pulau bagian timur terangkat ke atas. Kemudian mereka memindahkannya ke bagian timur pulau Jawa. Ketika gunung Meru dibawa ke timur, serpihan gunung Meru yang tercecer menciptakan jajaran pegunungan di pulau Jawa yang memanjang dari barat ke timur. Akan tetapi ketika puncak Meru dipindahkan ke timur, pulau Jawa masih tetap miring, sehingga para dewa memutuskan untuk memotong sebagian dari gunung itu dan menempatkannya di bagian barat laut. Penggalan ini membentuk Gunung Pawitra, yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Pananggungan, dan bagian utama dari Gunung Meru, tempat bersemayam Dewa Shiwa, sekarang dikenal dengan nama Gunung Semeru. Pada saat Sang Hyang Siwa datang ke pulau jawa dilihatnya banyak pohon Jawawut, sehingga pulau tersebut dinamakan Jawa.


       Dalam agama Hindu ada kepercayaan tentang Gunung Meru, Gunung Meru dianggap sebagai rumah tempat bersemayam dewa-dewa dan sebagai sarana penghubung di antara bumi (manusia) dan Kayangan. Banyak masyarakat Jawa dan Bali sampai sekarang masih menganggap gunung sebagai tempat kediaman Dewata, Hyang, dan mahluk halus.

Negeri di Atas Awan


       Malam tanpa hujan, musim hujan telah berlalu dan melakukan pendakian di musim-musim seperti ini sangat jauh lebih baik. Apalagi jika ke sini, pasti akan melakukan perjalanan malam yang panjang nan melelahkan. Yaitu perjalanan akhir menuju puncak. Bisa dimulai dari Kalimati di 2700 mdpl atau Arcapada 2900 mdpl. Menuju puncak di ketinggia 2676 mdpl, anda akan membutuhkan waktu dan tenaga lebih banyak daripada trek-trek sebelumnya. 1,5 kilometer saja. Tapi waktunya bisa sampai 5-8 jam. Woow
       
        Pukul 10.30 malam kami berenam mulai terjaga. Tak ada hujan, tak ada kabut. Tetapi angin malam kencang berderu-deru di Kalimati. Dingin beku menusuk-nusuk seisi tenda. Kami mulai bergegas, satu carrier kami penuhi dengan banyak logistik, komnes, 2 botol besar  air dan jirigen 1,5 liter. Yang lain hanya bawa daypack. Perlengkapan kami kenakan. Senter, sepatu treck, sarung tangan, penutup kepala, camdig adalah barang wajib. (Walau kemaren ane naik cuma pake sendal gunung, nyiksa). Tenda dan barang-barang yang lain cukup ditinggal di Kalimati. Tidah perlu membawa banyak bawaan. Dari informasi, trek akhir adalah jalanan berpasir dengan kemiringan tinggi. jauh lebih menyulitkan. Terlihat jelas ketika di Jambangan sebelumnya. Dan waktu di puncak pun tak boleh lebih dari pukul 10.00. Katanya, arah angin cenderung mengarah ke puncak pada jam segitu. Membawa gas beracun dari Jonggring Saloka. Oleh karenanya, untuk mencapai puncak, semua pendaki nge-trek malam. Biasa dimulai dari pukul 11 malam atau jam 1 malam untuk bisa mendapatkan sunrise. Itu pun kalo kuat.

       Tepat pukul 11.00 kami berangkat. Beberapa rombongan lain sepertinya sudah berangkat duluan. Menyusuri jalan setapak ke arah kiri kemudian belok ke kanan denga sedikit turunan. Kami mulai kembali masuk dalam hutan. 1,2 kilometer menuju Arcapada. Jauh berbeda dengan jalur Ranu Pane-Kalimati. Tanjakan banyak dimana-mana, khas Gunung Jawa Barat dengan akar-akar pohon yang menjulang. Tapi dengan tambahan debu yang mengepul. Hanya butuh waktu 2 jam untuk mencapai Arcapada. Beberapa petak tanah lapang dengan beberapa tenda. Dan rombongan besar pendaki yang juga sedang istirahat. Kami pun istirahat sejenak mengisi tenaga. Tampak dari kejauhan, di langit barat bulan  berwarna merah. Benar-benar merah di langit malam yang cerah. Hanya dari Arcapada ini bisa terlihat. Maklum saja .Ini adalah pos terakhir, pepohonan sudah tak begitu tinggi juga semakin jarang kepadatannya. Setelah rombongan besar tadi berenjak, kami menyusul di belakangnya. 

       Tak jauh dari Arcapada, setelah melewati batu nisan seorang pendaki, kami mencapai batas vegetasi. Hutan terakhir. Cemoro Tunggal. Di depan kami terpapar tanah menjulang tinggi. Tinggi sekali hingga tak terlihat ujungnya. B
erwarna hitam terdistorsi malam. Titik-titik cahaya putih berbaris lurus di depan kami. Merayap naik ke atas sampai tak terlihat ujungnya. Itulah mata para pendaki. Senter. Kami sedikit terperanjak. Mirip kemacetan di Jakarta, cahaya-cahayanya berjalan menanjak pelan. Entah berapa ratus orang yang berada di depan kami. Ingin mencapai ujungnya.

       Kami pun melangkah, bleeess. Masuk. Kaki masuk kedalam pasir. Melangkah lagi. Dan  terperosot lagi. Benar-benar membuat kami payah. Satu langkahan kaki maka akan terperosok setengahnya. Entah berapa sudut kemiringannya, yang pasti lebih dari 50 derajat. Jalur penuh pasir tanpa batu atau cadas yang ga tau ujungnya seberapa. Hanya cahaya-cahaya di depan kami jadi penunjuknnya. Kian lama fisik lah yang akan diadu. Semakin ke atas, semakin sering berhenti dan istirahat. Tidur kembali di atas pasir Semeru. Menatap jauh kedepan. Hanya hutan belantara di bawah langit kelam. 

       Ane ga kuasa menahan carrier di punggung.  Beratnya menaik bukan kepalang. Anak-anak pun sepertinya sudah tak kuat pula jika menggendongnya. Salah ternyata kita, kenapa harus bawa segini banyak perbekalan? Padahal pendaki lain hanya membawa daypack kecil berisi sebotol air. Saking ga taunya, dikira treknya gampang, satu carrieer diisi penuh sama air dan logistik. Akhirnya pun jadi bawaan yang menyiksa badan. Sesekali pendaki lain menimpali kami.

     "Wih, bawa carrier ga salah tuh mas?"
     "Hehe, logistik"
     "Banyak amat? mau jualan di atas"
     "Iya mau buka warung"

Jawaban ane penuh nada ga enak. Entah mereka kagum atau malah mengejek. Yang pasti nyesel udah bawa segini beratnya. Sial masak ane donag yang bawa beban. Akhirnya di tengah perjalanan di bagi-bagi rata tuh isi carrier sama kita berenam.

       Malam semakin menghilang, Di ufuk timur, sinar putih mulai terlihat. Tapi puncak masih saja tak terlihat. Kami berenan sudah terpisah jauh. Ane sama Espe di depan. Evan dan Cokli kami tinggal sebelumnya, sedangkan Zaky dan Ipin sudah kami tinggal dari awal. Zaky nemenin Ipin yang dari awal agak kurang enak badan. Makanya pas di Kalimati dia pengen di tenda saja, ga ikut naik. Dengan bujukan akhirnya dia naik juga.

       Harapan menikmati sunrise di Puncak Mahameru sudah pudar. Pukul 5 kami masih di trek pasir yang ga ada habisnya. Langi sudah membiru kembali, malam sudah terang kembali. Menoleh kebelakang, banyak pendaki yang sudah kami lewati. Mungkin beberapa sudah putus asa dan kembali turun. Atau mungkin mungkin malah lebih banyak. Evan, Cokli, Zaky dan Ipin tak terlihat. Semoga mereka bukan golongan orang yang berputrus asa yang turun kembali. Menciut nyalinya seperti pendaki lain. Espe yang di depan ane juga terus berjalan, dia yang paling kuat pagi itu. Makin tak terlihat oleh gundukan tanah yag lebih tinggi

     "Mana sih puncaknyaa.....Ga ada habisnya perasaan"
Nada dalam hati ane. Tapi sudah sejauh ini tak mungkin ane turun kembali. Memaksakan diri adalah jalan satu-satunya. 

       Sunrise, Soe Hok Gie, tanah para dewa, puncak tertinggi di Jawa. Kembali ane ucap untuk menyemangati. Tak perlu lihat ke atas. Jala aja terus. 20 menit setelahnya, setelah melewatu cerukan berbatu, para dewa pun membayar perjuangan ini. Puncak. Yah, inilah puncak.


"Negeri di Atas Awan"
     "Pe....Espeee...."

begitu sampai puncak ane mencari Espe yang sudah sampai duluan. terlihat di ujung sana ia duduk. Ane samperin. 

     "Nyampe juga"

       Puncak semeru adalah tanah yang datar lagi berbatu. Iya berbatu, beda dengan jalurnya yang berpasir. Tanahnya cukup lapang. Tapi kalo dari bawah tetap saja terlihat lancip. 2 tiang berbendera Merah-Putih berdiri tegap di sini. Di sisi timur, tepat di langit sunrise, kawah Jonggring saloka tertutup lautan awan. Sepandang dari semua arah, benar-benar seperti laut. Inilah negeri di atas awan. Angin bertiup kencang, sangat kencang. Dingin menembus jemari yang bergetar. Panas matahari tak mampu menghagatkan dinginnya sapua angin. Di sini, tempat bersemayam Soe Hok Gie, puncak abadi para dewa.

28 Agustus 2012, 3676 mdpl
Espe dan sunrise-Nya
Evan dan Cokli,  25 menit setelah ane dan Espe. 
Expedition Mapatra - Trip to Semeru 2012....SUKSES
Zaky, 40 menit setelah Cokli dan Evan
















Mapatra - Mahesa

Setengah jam lagi......

       Mana Ipin? Kami berlima berlindung dari agin pada cerukan kecil sebelum puncak. Menunggu Ipin datang. Angin semakin bertiup kencang. Kami memanaskan air, Ngupi-Ngupi lucu di puncak Semeru. Pukul 7 pagi kami tak kuasa  menahan angin dingin dan memutuskan untuk turun, sekaligus mencari tahu kondisi Ipin. 

       Ketika bersusah payah naik di jalur pasir maka akan berselacar ria ketika turun. Kami turun begitu cepat dengan menselancarkan kaki kami pada pasir-pasir yang gersang. Apalagi treknya menurun drastis. 10 menit berselang kami bertemu dengan Si Ipi. Berjalan tertuduk gontai. Kedua tagannya meringsek kedalam celana jaket putihnya. Pelan. dia berjalan perlahan menanjak pasir.

     "Pin, sehat lo?"
     "Hmmmm...."
     "Masih kuat kan?"
     "Mana puncak nya sih"
     "Noh di depan, gw tunggu dari tadi. DI atas dingin banget. Ga kuat kalo lama-lama"
     "Waduuh"
     "Lo lanjut ga?"
     "Ga tau nih"
     "Yaudah ini, bendera sama camdig. Lo naik. Kita tunggu di sini sampe lo turun lagi. Cuma setengah jam lagi"

       Dia pun naik, terus naik. Badannya memang uadah nge-drop ari awal. Cokli dan Evan turun duluan, mereka ditugasi untuk nyiapin makan siang. Jadi ketika kami berempat turun, tinggal makan. Tinggallah ane, Espe ama Evan. Nunggui Si Ipin. Di tengah jalur pasir tempat kami bermandikan keringat semalam. Angin smekin kencang berjalan. Menghapuskan lautan awn yang menbentang. Perlahan.....terbuka dunia bawah yang indah. Hutan hijau, Kalimati dan gunung Kepolo, lebih jauh lagi, Oro-oro Ombo dan Ranu Kumbolo. Dan yang paling jauh dari pandangan kami, Dinding pegunungan Bromo. Jelas, bersih, cantik. Kita sudah berjalan sebegitu jauhnya. Darah kami bersedir membiru sebiru alam itu...

Jalur berpasir menanjak . 
Tepat di bawahnya Kalimati-Gunung Kepolo-Jambangan-Oro oro Ombo(tanah terlihat lapang) dan barisan Pegunungan Bromo


Nyampe juga akhirnya dia.... (^_^)














      


 Satu hal yang patut diwaspadain waktu turun adalah kesasar ke arah jurang yang mengarah ke 'Blank 75'. Yaitu pada batas vegetasi, Cemoro Tunggal. Jalur asli berada di sisi kiri, agak nanjak dikit. Jika pendaki bisa lebih memperhatikan sebenarnya ada bendera hijau penanda jalur. Tapi karena ke-enakan berluncur turun, mereka cenderung mencari laur yang agak menurun dan akhirnya nyasar ke jalur 'blank 75' tersebut. Setengah dari kami sudah mencobanya. Hahahah.

       Pukul 11 siang, masih di tanggal 26/08/12 hari Minggu, kami sudah berkumpul kembali di Kalimati. Istirahat total. Ane dan Cokli ke 'Sumber Mani', satu-satunya sumber air di tempat tersebut. 1 jam perjalanan bolak-balik. Ke arah kanan kalau dari Jambangan. Ipin tergeletak lemas di pinggir tenda. Yang lainnya sibuk menyipapkan makan siang. Sore ini kami akan berpulang. Dengan sejuta kemenangan.

       Para dewa...
       yang negerimu kau sembunyikan dibalik lautan awan...
       yang indahmu kau bungkus dengan kawah berarakan...
       Akhirnya bendera dapat kami kibarkan di tanahmu...

Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Jeda . . .
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham | Distributed by Tech Leaps

Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top