Jengah.
Satu kata yang mendeskripsikan komplektivitas hiruk pikuknya ibukota.
Dari jalanan besar yang selalu padat kendaraan hingga gang-gang kecil
yang penuh anak-anak kecil berlarian, tak punya ruang lebih lapang untuk
bermain-main. Lihat saja rumah yang berdesak-desakan itu. Tak
menyisakan sejengkal pun untuk menanam beberapa tangkai euforbia. Hingga
sepeda mungil milik anak kecil itu diparkin sekenanya saja di pinggir
gang. Memenuhi bahu jalan. Namun orang-orang dewasa di perumahan padat
itu senang sekali duduk bercengkerama, di depan rumah, di perempatan
jalan dan di pos jaga. Sambil menyeduh segelas kopi hitam. Sedang
anak-anak mereka berlari-lari mengejar layang-layang menerobos gang
kecil itu, menikmati ruang sempit.
Jengah.
Satu kata yang menjelaskan bahwa aku bosan. Saat satu waktu tinggal di
sebuah perumahan di Jakarta Selatan. Yang mewah, besar, lebar, lapang,
megah, indah dan bertata bunga lebat. Tapi sepi.Tak ada lari-larian
riang anak-anak kecil, tak ada cengkerama warga sehangat kopi hitam.
Kecuali tembok dan gerbang yang tinggi menjulang. Memisahkan. Seakan
enggan isi didalamnya terjamah tangan orang lain. Coba saja injak
rumputnya yang hijau. Bersiaplah dengan teguran galak anjing-anjing
penjaganya.
Empat tahun belakangan ini aku terbaur dengan segala pernak-pernik
kehidupan ibukota. Tinggal dan hidup berpindah-pindah ke berbagai
tempat. Yang terkadang menurunkan kadar keramahanku sebagai asli Jawa
Timuran. Ada kalanya aku bertemu dan belajar dengan para ikhwan dalam
berbagai kajian. Pun terkadang terlibat dengan kerasnya orang-orang
kriminal di dalamnya. Atau sekedar jadi 'sok keren' nongkrong di tempat
makan. Ah, semua sama saja.
Aku tetap masih dalam titian pencarian. Menyandang amanah sebagai
mahasiswa sebuah kampus Politeknik jurusan Teknik Mesin waktu dulu
seakan membuka pandangan atas masa depanku. Dunia manufaktur. Dan
begitulah sekarang duniaku. Fabrikasi otomotif. Yang aku sendiri pun
terkadang menatap nanar saat dijebak kemacetan parah. Ah, semua ini juga
gara-gara saya.
0 comments