Pernah dulu, aku begitu menyukai matematika. Diantara semua
mata pelajaran yang kuenyam dari masa SD hingga perkuliahan. Bagiku ia
adalah pelajaran paling mudah dicerna. Dan dimengerti. Ketika hampir
semua pelajaran lain cenderung mengandalkan hafalan yang tiap hari tiap
bertambah banyak. Sedang kapasitas hafalan di otak sungguh terbatas.
Matematika menyuguhkan penyederhanaan. Sesederhana rumus yang bagi
kebanyakan orang justru menyulitkan.
Hei...rumus itu merupakan salah satu bentuk paling
sederhana dalam menyelesaikan permasalahan. Pun jua hidup di dunia ini.
Penat, letih, jenuh, tugas berpuluh-puluh, masalah bercampur aduk dan
kewajiban bertumpuk-tumpuk.
Kita, kini hidup di masa "Maalikan Jabariyan", sesuai pesan
dari Rasulullah shalallahu 'alaihis salam. Masanya para
pemimpin-pemimpin yang zalim. Masa dimana umat muslim yang banyak ini,
kini diombang-ambingkan dengan berbagai kemajuan zaman. Teknologi,
informasi juga budaya. Hingga serasa menjadi muslim seperti kehilangan
identitas. Identitasnya tercampur aduk (atau lebih tepatnya, dicampur
aduk) di pusaran zaman yang kata kebanyakan orang, zaman modern.
Jika begitu, benarkah disebut kemajuan? Atau sesungguhnya hanyalah kemunduran yang kasat di bola mata?
Kenakalan remaja, kriminalitas, pergaulan bebas di level
bawah. Hingga saking bebasnya mereka, para pendukungnya berteriak dengan
lantang. Ini hak kami. Hak asasi kami. Akhirnya hak asasi dijadikan
sandaran. Kedaulatan ada di tangan rakyat, pembelaan mereka. Sampai
saking bebasnya, di salah satu berita di televisi kemarin diucapan
dengan begitu lancang. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Astaghfirullah.
Korupsi, perebutan jabatan, suap sana sini di level atasnya
pun sepertinya sudah menjadi hal yang biasa. Hingga saking biasanya,
nenek-nenek yang mencuri singkong untuk memberi makan keluarganya yang
miskin harus dipersidangkan di depan hakim. Sedangkan yang
menyelewengkan jutaan, milyaran, trilyunan uang rakyat untuk membeli
perhiasan dunia dibiarkan duduk manis di kursinya. Sungguh tiran. Tak
ubahnya Fir'aun dan para pengikutnya. Memanglah pantas disebut zamannya
pemimpin-pemimpin yang zalim. Naudzubillah.
Jika begitu adanya, benarkah disebut kemajuan? Atau sesungguhnya hanyalah kemunduran yang kasat di bola mata?
Pelik memang. Tetapi sadarkah kita bahwa semua itu bisa disederhanakan?
Sesederhana menjadi pemimpin.
Tak perlulah Anda mengajukan diri, berkata dengan lantang. "Saya akan
menjadi pemimpin kalian. Yang akan..." Stop. Cukup. Tak perlu Anda
lanjutkan, wahai calon pemimpin. Belajarlah dari mereka yang sudah
dijamin masuk ke Surga yang abadi. Dari Abu Baks Ash Shiddiq, 'Umar ibn
Al Khaththab, Utsman bin 'Affan dan Ali bin Abi Thalib. Yang gemetar
sekujur badannya ketika menerima amanah yang berat sebagai Amirul
Mukminin. Bahwa setiap biji dzarrah ketidak-adilan sang pemimpin
terhadap rakyatnya, akan menambah timbangan dosa saat Hari Hisab tiba.
Sesedehana menjadi pemimpin muslim.
Yang ketika seorang Kisra di Persia mengeluh, tak mampu hidup hidup
dengan 1000 perawat kuda, 1000 dayang-dayang dan 1000 juru masak. Maka
ketika ia ditaklukkan Islam ditunjuklah Salman Al Farisi oleh 'Umar ibn
Al Khaththab menggantikannya. Salman Al Farisi hanya berpenghasilan 3
dirham sehari dari menganyam keranjang. Gajinya sebagai gubernur adalah
hak untuk Baitul Mal. Penghasilan 3 dirham Salman dibagi menjadi 3: 1
dirham untuk menafkahi keluarga, 1 dirham untuk bersedekah, 1 dirham
untuk modal menganyam esok hari.
Sesederhana menjadi yang dipimpin.
Cobalah taat jika peraturan itu tak melanggar syariat. Cobalah sabar
menunggu lampu hijau menyala ketika akan melintas di hiruk pikuknya
jalanan. Sabarlah berjalan di jalur anda tanpa mengambil hak pengguna
jalan yang lain. Sabarlah mengantri makan siang, mengantri pelayanan
kesehatan, mengantri pelayanan kepolisian. Sabarlah menyimpan bungkus
dan plastik di saku anda agar tak terbuang sembarangan, mengotori jalan.
Sabarlah dengan berapapun rizki yang sudah Tuhan titipkan pada anda.
Bersabarlah, sebagaimana pesan dari 'Umar ibn Al Khaththab, jadikannlah
sabar dan syukur sebagai tunggangan.
Sesederhana menjadi yang diri pribadi.
Ingatlah segala yang melekat di badanmu adalah titipan, yang nanti akan
diambil Empunyanya. Bahwa ia akan dipertanggungjawabkan. Mesti hanya
sebatang pulpen yang anda ambil dari tempat kerja anda, lalu anda
berikan untuk anak-anak anda untuk bersekolah. Hindarilah. Belajarlah
dari kakek paling agung sepanjang zaman, Rasulullah shalallahu 'alaihis
salam, kepada cucunya Al Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib. Saat Al Hasan
kecil mengambil kurma sedekah dan dimasukkan ke dalam mulutnya. Nabi pun
bersabda, "hekh..hekh...hekh...Keluarkan Nak!".
Sesederhana menjadi pribadi muslim,
Yang selalu berusaha menjaga dirinya dari bersentuhan dengan yang bukan
halal untuknya. Yang berusaha menundukkan pandangan matanya. Yang
keduanya itu adalah yang paling mudah mengantarkan godaan. Yang jika
kita langgar, para syaithan akan sangat berbahagia dan bersuka ria. Yang
jika kita kerjakan, kebanyakan orang akan beranggapan aneh terhadap
kita. Maka cukuplah satu ketaatan teguh untuk kita, dari redaksi Al
Qur'an Surat An Nur 30-31. "...Dan hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya..."
Barangkali memang hal-hal yang pelik di kehidupan sekarang
disebabkan kita terlalu meremeh temehkan hal yang sederhana. Terutama
soal makanan, pakaian dan gaya hidup.
Barangkali korupsi yang menjadi jadi di negara ini
disebabkan karena terkotorinya asupan makanan anak kita di masa kecil
dengan harta yang syubhat apalagi haram. Barangkali jauhnya kesenjangan
sosial di negara ini disebabkan karena kita ingin memisahkan zakat dan
sedekah dari agama.
Barangkali banyaknya kasus asusila di negara ini
disebabkan kita yang tak mau menjaga aurat juga menahan segala pandangan
dan sentuhan tangan.
Sesederhana itu. Tak lebih.
Namun seperti halnya rumus matematika yang begitu
sederhana, banyak orang yang coba menjauhinya. Enggan mempelajarinya.
"Udah deh, nanti nyontek saja saat ujian." Kata mereka saat akan
menerima pelajarannya. Dan kini bisa kita lihat. Kita terlampau mudah
mencontek budaya bangsa lain.
Begitu mudahnya mencampur adukkan hal yang diharamkan dan dihalalkan.
Astaghfirullah.
Saya kasih contohnya. Suatu ketika sahabatku berkata dalam
penantiannya menuju pelaminan. Ia katakan, "Ibarat saat ini dinda sedang
memakai celak dimata, masih 3 kilo lagi sampai disana, 3 bulan lagi
sampai. Kupanggil ia cinta sembari menikmati perjalanan dan sejuknya
pagi pun tak boleh?"
Aku pun hanya bisa menjawab, "Nikmati perjalanan
seperti biasa, pun nikmati sejuknya pagi dengan menundukkan diri pada
kuasa Rabbi. Tak ada jaminan sampai bulan ketiga masih ada sisa umur,
masih mau mengatasnamakan cinta kepada yg belum dihalalkan?" Sesederhana
itu saja. Tak lebih.
Akhi, semoga engkau dan juga kita semua selalu diberikan
keistiqamahan dalam menyelami kehidupan ini. Istiqamah dalam hidup yang
begitu ringkas. Istiqamah menjalankan syariat, walau terkadang rasanya
berat.
Sesederhana itu. Tak lebih.
0 comments