dan nikmati setiap prosesnya.

Friday, October 31, 2014

[ Hujan Pertama, Kota Ini ]

Selasa terakhir bulan Oktober...

Ada kegembiraan meluap-luap di dalam hati. Akhirnya menemukan metode terbaik menaklukkan mesin super presisi ini. Mendapatkan deviasi 2 mikron dari allowance 10 mikron yang dinginkan sebuah gambar teknik. Belum maksimal memang. Tapi cukuplah untuk seorang amatiran seperti aku. Aku yang dulu tak terbiasa dengan ukuran mikron, sebuah ukuran yang didapatkan dengan membagi panjang 1 milimeter menjadi 1000 sama besar. Kasat mata. Dan hanya bisa mengernyitkan dahi, tinggi-tinggi.

Berdeda dengan beberapa kawanan burung prenjak sore itu lebih memilih terbang rendah-rendah. Meliuk-liuk memutari pohon dan menghindari tembok bangunan, dengan lincahnya. Senada dengan awan penghujan yang kini makin rendah jaraknya. Mendung tipis itu menggelayut pelan. Hingga sepanjang sore, wajah langit kota ini nampak buram tak mengijinkan sengatan kilau senjanya menerpa aku yang biasa duduk berlama-lama di mushola. Membaca-baca lagi chat WA yang sepanjang siang kuacuhkan. Atau sesekali mengobrol dengan kawan yang tak buru-buru ingin pulang.

Tapi sore itu aku ingin cepat-cepat pulang. Mendung yang makin merendah mulai diikuti guntur-guntur kecil di pucuk langit. Aku bergegas menuju pos security menanyakan kiriman paket dari sahabatku di Magetan. Yang sudah kunanti lama-lama. Pun jua belum datang. Dengan sedikit kecewa aku berlari kecil menuju parkiran motor, memasang headset, helm, jaket dan memacu motor kencang-kencang. Tak ingin hujan turun saat aku masih di jalan.

Kosan ini tak banyak berubah. Sudah bulan kedua belas aku menghuninya. Yang nampak lebih sumringah adalah Pak Trimo. Penjual mie ayam tepat di depan kosanku dengan gerobak birunya. Sudah hampir 3 minggu ini tak nampak, biasanya ia pulang ke Magelang, menjemput kerinduan dengan keluarganya. Sore itu, ia tersenyum lebih sumringah saat aku melambaikan tangan menyapanya. Begitu pula saat aku mendekat memesan semangkuk mie tanpa mitchin. Kutatap lagi lekat-lekat. Ia menyimpulkan senyum menunjukkan barisan giginya yang putih. "Sueneng, kuangen jan karo anakku, broo". Ia memberikan penjelasan. "Yang kemarin baru lahir?" Aku bertanya penasaran. "Iya lah, ini tadi dikirim fotonya sama anakku yang udah gede." Ia menunjukkan foto sepasang bayi laki-laki kembar di hape barunya. "Ahahaha, udah saya bilang kan. Kenapa ga diajak ke sini, sih?". Kami berdua sama-sama tertawa. Menikmati sore yang terasa lebih dingin.

Berjalan ke lantai dua kosan. Masih sama saja. Empat kamar yang lebih sering ditutup, kecuali kamarku yang paling ujung, menghadap jalan. Di derasnya musih hujan teras ini akan tergenang air dari ujung ke ujung. Membuatku berjingkat-jingkat kecil. Menyipakkan genangan air dengan riak-riak bergelombang. 

Di kamar pertama. Mas Agung dan Mas Dani. Jika pintunya terbuka dan kulongokkan kepala ke dalam, mereka selalu akan menawariku makanan. Dan bertanya dengan logat sundanya, "Baru pulang, Mas?" Aku pun membalas, "Bagaimana codingannya, juga jualan sepatu kulitnya?"

Di kamar kedua. Mas Sandi. Jika pintunya terbuka dan kulongokkan kepala ke dalam, ia akan mengajakku nonton film genre horror luar negeri di tivi 30 inchi nya. Atau paling tidak diajak menonton atraksi balap motor dan seni bersepeda di Ipod Apple miliknya.

Di kamar ketiga. Mas Hadi dan adiknya. Jika pintunya tertutup akan kugedor, jika terbuka akan kulongokkan kepala dan kusambut, "Brooo.......!!!" Begitu saja. Hahaha. Begitu pula jika hari sudah siang sedang nampaknya aku masih tertidur di dalam, ia aka menggedor pintu kamarku dan membangunkan, "Brooo.......!!!" Masbroo ini adalah partner terbaik buat nonton tivi di selasar teras lantai 2 paling ujung.

Di kamar keempat, selepas isya'. Tak ada lagi yang lebih nikmat selain meletakkan segala letih dan keringat di dua tumpuk kasur busa di dalamnya. Aku sudah tak mampu bergerak lebih banyak. Ingin tidur lebih awal.

Malam itu udara makin sesak. Suhu kota ini pun semakin beranjak. Mencairkan butir-butir air dan es yang terbawa mendung yang merendah. Dan blaaaaaab.......

Seluruh desa Sirnabaya ini padam lampunya. Bersisa gelap dan riak cakap-cakap manusia. Lebih hening dan tenang. Tak ada lagi tivi, tak ada lagi alat elektronik yang membisingkan telinga. Hening dan tenang. Perlahan atap-atap kosan ini mulai terhujam rinai-rinai kecil. 

Tik....tik....tik.....
Begitu seterusnya, dan berkelanjutan. 

Tik...tik...tik...
Begitu nyaring memecah keheningan dan ketenangan gelap. Seolah hanya rinai itu yang ingin diperdengarkan Tuhan, pada semua makhluq yang dilimpahi sejuk airnya. Sebuah melodi alam, yang menyejukkan.

Tik...tik...tik...
Butirannya menjamah bumi, terpecah dan terpancar. Menyeka setiap jengkal tanah dan jalanan. Membasuh wajah muram kota di sepanjang siang tadi. Menggantikannya dengan udara yang mengandung lebih banyak bulir air, yang menyejukkan.

Tik...tik...tik...
Hujan pertama di kota ini. Betapa indahnya. Maha suci Tuhan dengan segala limpahan karunianya dari langit. Kemudian Tuhan tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan. Kemudian dari situ dijadikannya tanaman-tanaman yang menghijau. Lalu dikeluarkan daripadanya butir-butir dan buah-buah yang banyak. Hingga menjadi kebun kebun anggur dan delima yang mengindahkan pandangan. Mashaallah. 

Aku pun terjaga, beranjak dari belaian gelap. Kembali menengadahkan kedua tangan ini di antara rerintikan. Menjadikannya sebagai embun penyejuk, di dalam singkatnya perjalanan.
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Jeda . . .
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham | Distributed by Tech Leaps

Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top