dan nikmati setiap prosesnya.

Sunday, May 25, 2014

[ Janji Masa Kecil ]

Pada suatu pagi, ia sudah berseragam rapih, biru dan putih. Dengan dasi biru "Tut Wuri Handayani" yang dikalungkan di kerah lehernya. Sudah hampir pukul enam, ia terburu-buru menghabiskan sebungkus sarapan yang dibelikan ibunya di pasar kecil di dekat rumahnya, setelahnya ia bergegas menuju perempatan tempat pasar kecil itu bernaung. Menunggu mobil angdes-Angkutan Pedesaan-yang setiap pagi mengantarkannya ke sekolah, SMPN 4 Magetan.

Tahun 2005, duduk di bangku kelas dua, dalam ingatan. Mungkin adalah masa masa sulit bagi sopir angdes trayek Magetan-Truneng. Bagaimana tidak angkutan warna merah ini adalah satu-satunya yang menuju kampung kecil ini. Sedikit demi sedikit ia tergeser, tergantikan sepeda motor yang bermunculan sana sini. Dahulu setiap satu jam ia akan melintas di perempatan kecil itu, namun kini para sopir itu hanya akan 'narik' dua kali, pagi dan siang. Yaitu pada waktu anak-anak sekolah dan ibu-ibu berangkat ke Pasar Sayur Magetan serta saat mereka berpulang, siang nanti.

Prihatin memang, hanya 3 angkutan di pagi hari. Pukul 6 tepat, pukul 6.15, keduanya ngetam di pintu air dekat kantor kepala desa truneng. Dan yang paling siang pukul 6.35 yang 'ngetam di perempatan desa Truneng paling timur. Selepas itu tak ada lagi.

Langit sudah hampir terik saat ia sampai di perempatan itu. Sinar matahari yang tipis memantul oleh rambutnya yang diminyak klimis. Sudah agak sepi, ia terlambat menaiki angdes pertama. Pun kini ia hanya duduk sendirian. Beberapa teman yang biasa berangkat dengannya sudah beberapa menit yang lalu meninggalkannya. Ah, masih ada angdes kedua, pikirnya. Yang dinanti pun tak kunjung datang, sedang mentari makin terang dan waktu kian siang. Ia tak mau terlambat.

Akhirnya angdes terakhir pun melintas. Angdes keduanya tidak ambil trayek pagi itu. Lewat senyum, Pak Kepeng, sopir angdes yang terakhir pun meminta maaf, ia berbelok pelan dan tak menghentikan laju kendaraan tuanya. Sudah sangat penuh sampai bergerombol di pijakan paling belakang. Tak mampu lagi diselipkan, satupun tak bisa. Akhirnya anak kecil berseragam biru putih itu hanya ternganga, tak percaya. Membayangkan itu adalah hari keterlambatannya yang pertama masuk sekolah.

Kakinya gemetar menggerakkan sepatunya yang kucal, kebingungan mencari alternatif keberangkatan, mau pulang dan mengadu ke ibu? Ah, sama saja. Pagi pagi buta tadi bapak sudah berangkat ke sawah. Keringatnya mulai bercucuran melunturkan minyak rambut 'tancho' dan mengalirkannya melewati pelipis. Hingga nampak mukanya yang kusam berkilau minyak, sembab dan menyedihkan. Berkali kali ia menengok kanan dan kiri berharap ada bantuan datang, atau melihat ibunya ke pasar lagi agar setidaknya ia tak sendirian. Jauh-jauh ia pandangi jalan menuju rumahnya. Ah, ibu mana ya??

Hingga ia tersadar oleh bunyi klakson kecil di seberang jalan. Seorang bapak berpostur kecil dengan motor Astrea putih tahun 80. Ia kenali bapak itu adalah tukang ojek yang tinggal di desa Kentangan. "Ayoo, bareng sini", katanya pelan. Ia masih belum beranjak. Tak faham maksud dari bapak itu. "Saya antar sampai 'Jepla'an', Dhek", pungkasnya. "Angdesnya sudah ga ada lagi". Bapak itu tersenyum menampakkan kesungguhannya. Akhirnya anak kecil itu pun berdiri, berlari menuju bapak bermotor Astrea putih dengan berkaca kaca. Asapnya mengepul tinggi-tinggi meninggalkan perempatan. Membawanya sedikit lebih jauh meninggalkan rumah, mengantarkannya lebih dekat menuju sekolah. Dalam diam, dari hati ia berjanji, "Suatu saat harus kubalas budi baik bapak yang mau memberikan tumpangan ini".

-------oOo-------

Anak kecil itu kini telah tumbuh dewasa. Sudah 4 tahun meninggalkan kampung halamannya. Hari kemarin ia pulang, melewati rumah bapak bermotor Astrea putih. Bapak itu berdiri di teras rumahnya yang tak jauh dari 'Jepla'an' tempat anak kecil itu diturunkan dari motornya. Ia menyimpulkan senyum yang masih sama, ketika berhenti di perempatan. Mengingatkan anak kecil yang sudah tumbuh dewasa ini pada janjinya. Hanya bisa membalas budi baiknya lewat senyum dengan mata terpejam, sampai sekarang.

Kelak dari kisahnya bertemu bapak bermotor Astra putih lahirlah cerita dramatis Nanar dalam catatannya. Juga kisah bertajuk Cinta Sepanjang Jalan.

Serta potongan-potongan perjalanannya yang belum sempat tertuang dalam tulisan dan pengalamannya bersapa dengan banyak orang yang baru ia kenal lewat motor tua kiriman bapak dari kampung halaman.
Janji masa kecil itu terus memberikan inspirasi. Membuahkan tunas-tunas kebaikan.

Mendewasakan.




Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

2 comments

  1. A little promise. Waah.. bagaimana yah perasaan si bapak waktu melihat anak kecil tadi sudah besar..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama. Tatapannya seperti yang dulu. Sangat sederhanaa
      Tapi kutahu perasaannya tak sesederhana itu. :)

      Delete

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Jeda . . .
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham | Distributed by Tech Leaps

Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top