Sepasang
beburung itu masih saja berlarian riang. Berkejaran di kuncup
dededaunan pohon angsana yang hijau pupus, dibalur embun. Agaknya tak
ada yang lebih menarik perhatian olehnya. Selain daun yang berlambaian,
dan kicau rayu yang didendangkan.
Tepat
di bawahnya beberapa pasang muda mudi sedang sibuk mengatur rencana
hari itu. Adalah hari yang tepat saat mentari mulai menyengat, menyeka
mendung dan kabut yang seminggu membelenggu. Ini akhir pekan, agaknya
tak ada yang lebih indah rasanya. Selain kendaraan yang dipacu pelan,
dan di atasnya duduk berboncengan.
Ah, masa muda. Ketika jiwa mulai meraba dan tumbuhlah rasa.
Maka
seperti halnya buah yang butuh ranum untuk menjadikannya matang.
Perasaan jiwa yang seringkali meletup dan mendebar adalah penguat dalam
menantikan "masa"nya tiba.
Dan
barangkali kita harus belajar bagaimana orang orang di kampung-kampung
memperlakukan buah-buah yang masih setengah matang itu. Dibungkusnya
rapat-rapat, dengan kantung-kantung hitam. Sejenak ditutupi dari
riak-riak dunia. Tak dibiarkan semut, ulat, burung, dan kalong memakan
buahnya. Bahkan menyentuh kulitnya.
Hingga masanya pun tiba. Lembut, harum dan manis di setiap gigitnya. Bukan lagi keras, tidak lagi masam.
Mari kita hijabi perasaan yang seringkali mendebar dan meletup itu. Kita jaga pandangan yang paling mudah mengantarkan godaan.
Sejenak saja...sejenak saja.
Matangkan
dirimu, sikapmu, akhlakmu. Akan tiba saat yang terindah saat
keterhijaban itu dibuka. Saat mentari pertama di kehidupan baru, terbit.
Bukan sekedar menyengat, tetapi adalah hangat.
Ah, manisnya...
(dari seberang pohon angsana, di selasar lantai dua, menikmati seduhan hangat susu coklat, menyusuri paragraf-paragraf)
0 comments