Rasanya
menjadi seorang Indonesia seperti yang diceritakan guru SD ku dulu
adalah sesuatu yang sangat sulit. Yaitu mengaplikasikan kata kunci
bakunya. Keramah-tamahan dan kearifan lokalnya. Apalagi melihat,
mendengar, merasa sekaligus hidup di ibukota negeri ini, Jakarta. Tak
jauh beda dengan siaran di berita tv nasional maupun lokal yang setiap
pagi bahkan sepanjang hari mengekspos ibukota ini. Dengan satu tema
awal, kemacetan. Disusul turunan objek penguat lainnya.
Aku
yang menjadi bagian dari warga Jakarta selama 3 tahun merasakan
bagaimana kemacetan itu terasa. Aksi menyerobot lampu merah adalah
sesuatu yang dianggap wajar dan lumrah di sini, apalagi di daerah utara
tempat tinggalku dulu. Termasuk juga di dalamnya aku, ketika awal-awal
mengendarai motor di sini. Itu baru soal lampu merah. Coba saja naik
busway pagi atau sore hari. Antrean panjang nan lama pun akan kalian
rasakan. Beberapa tertib, namun lebih banyak yang suka dengan serobot
sana-sini, termasuk aku ketika tahu-tahun awal di Jakarta. Hyaaah.
Lambat laun, kearifan lokal dengan keramah tamahan itu hanya menggantung
di otakku hingga lama-kelamaan menghilang tertutup debu polusi
kehidupan ibukota.
Lebih
ngilu lagi dengan anak-anak SD yang begitu leganya mengucap kata-kata
kasar yang bagi orang dewasa sudahlah sangat kasar. B*go, anj*ng, dan
sejenisnya sudah begitu lekat dengan kamus perbendaharaan mereka.
Jadilah aku menyebut Jakarta sebagai "north face". Entah apa maksudnya.
Tapi yang pasti jika aku bilang berasal dari 'Priuk' akan ada raut
sedkit kaget dengan ungkpan 'wuiih' dari teman-temanku yang berasal dari
Jakarta bagian lain.
Tapi
Sabtu di pagi itu hariku kembali diingatkan pada potret-potret
guru-guru SD ku yang sederhana dengan rumah ladangnya, terutama kepala
sekolahku yang begitu menginspirasiku tentang pelajaran Matematika. Aku
masuk dalam balkon yang dipenuhi potret Indonesia. Petanya terpampang di
segala penjuru, Kemudian ditunjukkan dengan garis nama-nama daerah yang
logatnya tak asing di telingaku, namun tak pernah terjamah bahasaku.
Rote Ndao, Halmahera Selatan, Lebak, Sangihe, Kapuas Hulu, Enim, Bima,
Majene dan seterusnya. Aku kembali ke masa-masa kecilku dulu yang begitu
semangatnya ketika guru IPA ku membukakan Peta Indonesia di papan tulis
hitam.
Lebih
dekat lagi kudapati banyak sosok-sosok tanpa tanda jasa, para pahlawan
yang tak pernah tertulis namanya. Merekalah para penopang pendidikan
Indonesia di tempatnya yang terpencil dan tak terjamah. Para local
heroes yang sudah mencerdaskan ribuan bahkan jutaan anak Indonesia.
Termasuk guru-guru SD ku dulu.
Aku
kembali melihat bagaimana bendera Indonesia dikibarkan di depan mataku
dan aku menghormat kepadanya. Kemudian persembahan sebuah lagu Tanah Air - Paduan Anak Nusantara kembali mengkaca-kaca mataku.
Aku
kembali menghijau, bersama orang-orang postif yang rela meluangkan
waktu lebihnya di 2 hari untuk 'anak Indonesia' itu. Aku sadar aku dan
para pasukan berhijau di Festival GIM memili motif dan motif beragam datang dan menjadi relawan #KerjaBakti
di sana. Bagiku sendiri aku merasa kangen dengan apa yang disebut
'Indonesia' oleh guru Geografi SMP ku. Tak ada alasan lebih jauh kenapa
aku jauh-jauh datang dari Priuk-Jakarta Utara ke Galuh-Jakata Selatan
menyiapkan bagian dari acara di Festival ini.
Aku
menghijau kembali, dari dunia ibukota yang begitu gemerlap memanjakan
namu membuat kita lupa. Juga ibukota yang dupenuhi setumpuk masala
sosial pendidikan yang rasanya begitu sulit menumpuk berantakan. Yang
macetnya, antrinya, sosial-lingkungannya, kearifan orangnya membuat
nanar di hati
Aku menghijau kembali. Aku merasa lebih dekat kembali dengan Indonesia.
0 comments