dan nikmati setiap prosesnya.

Sunday, January 26, 2014

[ Sebening Prasangka, Part. 1 ]

Tahun demi tahun berlalu. Dia telah menikah. Tapi sang istri meninggal ketika menyelesaikan tugasnya, menyempurnakan susuan sang putra hingga usai dua tahun. Maka dibesarkan putera semata wayangnya itu dengan penuh kasih. Dididiknya anak lelaki itu untuk memahami agama dan menjalankan sunnah Nabi, juga untuk bersikap ksatria dan berjiwa merdeka.

"Anakaku," katanya di suatu pagi, "Ayahmu ini dulu seorang budak. Ayahmu ini separuh manusia di mata agama dan sesama. Tapi selalu kujaga kehormatan dan kesucianku, maka Allah memuliakanku dan membebaskanku. Dan jadilah kita orang merdeka. Ketahuialah Nak, orang bebas yang paling merdeka adalah dia yang bisa memlilih caranya untuk mati dan menghadap Illahi!"

"Ketahuilah," lanjutnya, "Seorang yang syahid di jalan Allah itu hakikatnya tak pernah mati. Saat terbunuh, dia akan disambut oleh tujuh puluh bidadari. Ruhnya menanti kiamat dengan terbang ke sana-kemari dalam tubuh burung hijau di taman surga, dan diizinkan baginya memberi syafa'at bagi keluarganya. Mari kita rebut kehormatan itu, Nak, dengan berjihad lalu syahid di jalanNya!"

Sang anak mengangguk-angguk. Sang ayah mengeluarkan sebuah kantung berpelisir emas. Dinar-dinar di dalamnya gemerincing. "Mari mempersiapkan diri", bisiknya. "Mari kita beli yang terbagus dengan harta ini untuk dipersembahkan dalam jihad di jalanNya. Mari kita belanjakan uang ini untuk mengantar kita pada kesyahidan dengan sebaik-baik tunggangan."

Siangnya, mereka pulang dari pasar dengan menuntun seekor kuda perang berwarna hitam. Kuda itu gagah. Surainya mekar menjumbai. Tampangnya mengagumkan. Matanya berkilat. Giginya rapi dan tajam. Kakinya lebar dan kukuh. Rigkiknya pasti membuat kuda musuh bergidik.

Semua tetangga datang untuk mengaguminya. mereka menyentuhnya, mengelus surainya. "Kuda yang hebat!" kata mereka. "Kami belum pernah melihat kuda seindah ini. Luar biasa! Mantap sekali! Berapa yang kalian habiskan untuk membeli kuda ini?" Anak beranak itu tersenyum simpul. Yah, itu simpanan yang dikumpulkan seumur hidup.

Para tetangga ternganga mendengar jumlahnya. "Wah", seru mereka, "Kalian masih waras atau sudah gila? Uamg sebanyak itu dihabiskan untuk membeli kuda? Padahal rumah kalian reyot nyaris roboh. Untuk makan besok pun belum tentu ada!" Kekaguman di awal tadi berubah menjadi cemooh. "Tolol!" kata salah satu. "Tak tahu diri!" ujar yang lain. "Pandir!"
"Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Tapi kami berprasangka baik kepada Allah," ujar mereka.

Para tetangga pulang. Ayah dan anak itu pun merawat kudanya dengan penuh cinta. Makanan si kuda dijamin kelengkapannya; rumput segar, jerami kering, biji-bijian, dedak, air segar, kadang malah ditambah madu. Si kuda dilatih keras, tapi yak dibiarkan lelah tanpa mendapat hadiah. Kini mereka tak hanya berdua, melainkan bertiga. Bersama-ama menanti panggilan Allah ke medan jihad untuk menjemput takdir terindah.
Sepekan berlalu. Di sebuah pagi buta ketika si ayah menengok ke kandang, dia tak melihat apapun. Kosong. Palang pintunya patah. Beberapa jeruji kayu terkoyak remuk.
Kuda itu hilang!

Berduyun-duyun para tetangga datang untuk mengucapkan bela sungkawa. Mereka bersimpati pada cita tinggi kedua anak ayah itu. Tapi mereka juga menganggap keduanya kelewatan. "Ah, sayang sekali!" kata mereka, "Padahal itu kuda terindah yang pernah kami lihat. Kalian memang tidak beruntung. Kuda itu hanya hadir sejenak untuk memuaskan mabisi kalian, lalu Allah membebaskannya dan mengandaskan cita-cita kalian!"

Sang ayah tersenyum sambil mengelus kepala anaknya. "Kami tak tahu," ucap serempak keduanya, "Ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah."
Mereka parah. Mereka coba untuk menghitung-hitung uang dan mengira-ngira, kapan bisa membeli kuda lagi. "Nak," sang ayah menatap mata puteranya, "Dengan atau tanpa kuda, jika panggilan Allah dtang, kita harus menyambutnya." Si anak mengengguk mantap. Mereka kembali bekerja tekun seakan tak terjadi apapun.

Tiga hari kemudian, saat shubuh menjelang, kandang kuda mereka gaduh dan riuh. Suara ringkikan bersahut-sahutan. Terkejut dan jaga, ayah dan anak itu berlari ke kandang sambil membenahi pakaiannya. Di kandang itu mereka temukan kuda hitam yang gagah bersurai indah. Tak salah lagi, itu kuda mereka yang pergi tanpa pamit tiga hari lalu!

Tapi kuda itu tak sendiri. Ada belasan kuda lain bersamanya. Kuda-kuda liar! Itu pasti kawan-kawannya. Mereka datang dari stepa luas untuk bergabung di kandang si hitam. Mungkinkah kuda punya akal jernih? Mungkinkah si hitam yang merasa mendapatkan layanan terbaik di kandang seorang bekas mengajak kawan-kawannya bergabung? Atau tahukah mereka bahwa mendatangi kandang itu berarti bersiap bertaruh nyawea untuk kemuliaan agama Allah, kelak jika panggilanNya berkumandang? Atau memang itu yang mereka inginkan?

"Bertasbih kepada Allah, segala yang di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (Q.s. Ash Shaff [61]:1).

Ketika hari terang, para tetangga datang dengan takjub. "Luar biasa!" kata mereka. "Kuda itu pergi untuk memanggil kawan-kawannya dan kini kembali membawa  mereka menggabungkan diri!" Mereka semua mengucapkan selamat pada pemiliknya. "Wah, kalian sekarang kaya raya! alian orang terkaya di kampung ini!"

Tapi si pemilik kembali hanya tersenyum. "Kami tak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah."


(to be continued....)
[ dari buku Salim A Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah ]
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Jeda . . .
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham | Distributed by Tech Leaps

Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top