dan nikmati setiap prosesnya.

Thursday, June 25, 2015

[ Barakallahu Laka, Akhi ]

Kadang ukhuwah memang tak perlu dibahasakan lisan. Seperti yang diajarkan sepasang jalak dan kerbau. Bekerja dalam diam. Namun, keduanya saling memberi manfaat. Pada keduanya. Pada kelangsungan ekosistem dan rantai makanan. Pada dunia.

Kadang aku merasa seperti sepasang dua itu. Tentang seorang sahabat yang setahun setengah ini hampir selalu kujumpa di mushala kecil d Sirnabaya.

Kami berdua selalu keluar mushala saat dzikir berjama'ah tengah berlangsung. Namun, tak pernah sekalipun kami bertutur sapa. Diam dalam lisan dan kata. Kecuali sepagut senyum dan jabat tangan. Kemudian kami berdua berlalu begitu saja. Sampai isya' nanti, atau subuh esok hari.

Wajahnya teduh. Sangat familiar dengan wajah-wajah kampung halamanku. Gestur ramah asli orang Jawa Timuran, daerah peralihan antara Surabaya yang keras dengan Yogyakarta nan santun. Walau begitu, ada canggung dalam diriku untuk sekedar memulai kata. Seperti kebanyakan laki-laki, para pendiam terbaik. Pun sepertinya hal itu juga berlaku untuknya.

Maka, begitulah jalinan ukhuwah yang kami jalani berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan, bulan. Dan terhitung kini hampir satu setengah tahun.

Hingga akhirnya di satu petang yang indah. Ia membuka kata.

Sengaja membelokkan langkahnya yang cepat dan menghampiri aku yang sedang duduk menyendok soto ayam Surabaya di depan kontrakan. 

"Assalamu'alaikum," ia menjabatku.

Dan pecahhlah segala rasa canggung petang itu. Perkenalan yang terlalu terlambat. Walau seringkali yang terasa aku dan ia sangatlah dekat, dalam belajar sunnah. Pun ternyata ia berasal dari Sragen, hanya satu jam dari kampung halamanku. Sudah tujuh tahun tinggal d Sirnabaya ini. Bekerja di salah satu kawasan industri di Karawang Timur.

Kucoba lebih mendekatkan diri dengan pertanyaan paling konservatif,
"Pulang kampung, mas?"
"Tidak"
"Lhoh, kenapa?" Aku penasaran.
"Orang tua insyaAllah yang akan kesini." Jawabnya canggung, seperti ada sesuatu.


Kusendok lagi kuah hangat soto ayam dan mencoba menebak-nebak isi pikirannya.

"InsyaAllah," tuturnya pelan, "Minggu depan ana akan menikah. Sebelum puasa."

Sangat jujur dan polos. Petang itu senyumnya benar-benar mengembang, bahagia. Lebih manis dari lengkungan bulan sabit tanggal dua puluh tiga bulan Sya'ban. Matanya berbinar ibarat bebintangan di langit kemarau panjang.

Seketika itu pula, degub nadiku menjalarkan berjuta rasa bahagia. Untukmu, untuk persaudaraan kita.
Terkirim do'a untukmu, Mas Agung: "Barakallahu laka. Wabaraka 'alaika. Wajama'a bainakuma fii khair."

http://jmmi.its.ac.id/2015/03/jurang-ukhuwah-membenamkan-dakwah/


Warung Soto Ayam Bu Fatimah,
Sepekan Jelang Ramadhan.
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Jeda . . .
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham | Distributed by Tech Leaps

Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top