dan nikmati setiap prosesnya.

Thursday, November 20, 2014

[ Percaya, Setiap Ending Pasti Happy ]

Mount Prau, 2565 mdpl, 8-9 November 2014.

Puncak gunung selalu sama. Yang berbeda adalah dengan siapa engkau mendakinya .(Nuryana Issa)
Semua tempat akan selalu sama. Yang berbeda adalah bagaimana engkau melihat dan menuliskannya .(Gol A Gong)


Terik mentari tergelincir di langit barat melewati Pegunungan Prau dan mulai meninggalkannya. Saat itu pula akhirnya aku, juga keenam sahabatku bertemu dengan ladang-ladang petani di desa Kalilembu, Wonosobo. Ladang sayur berterasering tinggi-tinggi di punggungan gunung. Punggungan yang dirambati pipa-pipa air milik warga untuk sumber air dan kehidupan.

Pukul 12:15. Aku dan Mas Affan yang berjalan lebih dulu akhirnya kembali ke base camp Patak Banteng. Menyelesaikan administrasi dan simaksi. Dan berlanjut dengan tugas genting berikutnya. Mencari charter mobil Patak Banteng-Purwokerto. 4 jam 15 menit dari sekarang, Kereta malam Serayu akan berangkat meninggalkan Kota Purwokerto. Dan juga kami, jika saja kami tak tepat waktu.

"800 ribu. Langsung ke Purwokerto." Ujar bapak-bapak yang mengenakan penutup kepala itu. "Deal, berarti kita ngeteng saja sampai stasiun." Terlalu tinggi buat ditawar. Satu per satu, akhirnya Mbak Medha, Mbak Issa, Mia, Anggun dan Mas Hendri pun muncul di pertigaan kecil Patak Banteng. Pertigaan dimana minibus Dieng-Wonosobo sudah menunggu mereka.

Pukul 12:30. 4 jam lagi. Akhirnya kami beranjak dari kaki gunung Prau. Meninggalkan ladang bebatuan nan berbukit. Menuju terminal Wonosobo. Diantara batas waktu yang kian sempit.  Terbayang hari kemarin kita, berangkat dari Purwokerto pukul 8:00 dan sampai di tempat ini jam 14:30. 6,5 jam. Sekarang tak ada lagi yang bisa kami lakukan selain hal ini. Percaya.

Siang itu kabut pekat masih saja betah menutupi pucuk-pucuk pegunungan ini. Tak ada bedanya dengan pagi tadi di sekitaran Pelawangan, puncak gunung Prau. Tak ada jingga fajar yang membaris horizon di ufuk timur. Melukis Gunung Sindoro, Sumbing, Merbabu, Merapi dan Lawu dengan jajaran awan yang bergumul di tengahnya. Hanyalah langit putih dan awan putih di pandangan mata. 






Dan akhirnya mata ini pula tak sanggup menahan lebih lama. Tertutup oleh kantuk. Cerita masa muda bapak sopir minibus Dieng-Wonosobo di sampingku ibarat dongeng yang menenangkan sekujur badan dan pikiran yang tegang. Dan aku pun semakin terpejam. Pulas

Pukul 13:30. Bukaan mataku disambut Terminal Mendolo, Wonosobo. Kami bergegas menurunkan muatan dan mencari kendaraan yang bisa by-pass ke stasiun Purwokerto. 3 jam lagi. Pun akhirnya tak kami dapati charteran kendaraan itu, kecuali bapak sopir bus Wonosobo-Purwokerto yang menjanjikan waktu untuk kami. "Bisa mas, mbak. Tenang saja. Keretanya jam 16:30 kan? Ini langsung jalan. Nanti dari terminal Purwokerto naik angkot sampai stasiun." Ah, memang tak ada pilihan lain selain hal ini. Percaya.

Kami mulai meninggalkan kota Wonosobo. Hujan kembali berguyur deras. Bergemicik riak di atas kepala kami. Berkecipak di tembus roda bus yang melaju kencang. Tak ubahnya malam sebelumnya saat kami bertujuh menapakkan jejak demi jejak di jalan menuju puncak gunung Prau yang licin, diguyur hujan. Hingga dari sebelum maghrib sampai setelah isya', barisan rombongan pendaki termasuk kami menghentikan perjalanan karena jalur yang terjal, juga licin. Rasanya ingin berjalan mundur dan menyerah. Tapi kami memaksakan diri, sudah sampai sejauh ini. Begitu pula bapak sopir bus Wonosobo-Purwokerto yang tegap memacu laju kendaraannya. Menjaga waktu yang ia janjiikan.






Kupandangi wajah bapak sopir di pantulan cermin pandang di atas kepalanya. Sesaat itu pula kudapati 2 baris angka yang diawali huruf PWT dan WSB di atas cermin itu. Dan aku mulai sadar itu adalah jam keberangkatan bus. Salah satunya terlulis WSB 13:35. Ah, Tuhan, jadi Engkau yang mengatur waktu-waktu hingga aku dan keenam temanku duduk berjibaku terpelanting di bus ini. Yah, aku percaya.

Hujan terkadang deras berderai di satu bagian kabupaten, kemudian reda. Dan di depan hujan menyambut kami lagi, bersahut-sahutan. Berkali-kali bapak sopir menelpon singkat, no more than 5 conversation. Entah berkomunikasi dengan siapa. Sepertinya memantau kondisi jalan. Sedang pada saat yang bersamaan tangan kanannya memuntir kemudi dengan lugas. Bus ini melaju sangat kencang. Bapak sopir tak ingin menyalahi janjinya.

Memasuki Banjarnegara, aku tak mau lagi melihat detak waktu. Debar-debar jantung mulai bertambah impulsnya. Kupejamkan kembali mata ini. Berharap Kota Purwokerto menyambut bukaan mataku, nanti.

Pukul entah.... Aku membuka mata. Sepertinya ini hanyalah jalanan kampung. Sepi dan sempit. Pandangan mataku mendapati daerah ini adalah kabupaten Purbalingga. Semoga masih ada waktu. Aku semakin tegang, mungkin sama halnya dengan yang lain. Dan kupaksakan mataku, terpejam sekali lagi.

Reda sudah hujan hari itu. Aku tak lagi mampu memejamkan mata. Kota Purwokerto membuat ujung perjalanan ini semakin mencapai titik klimaksnya. Pak sopir masih dengan galaknya mengayuh sauh kemudi. Hingga di perempatan akhir, belok kiri menuju terminal Purwokerto. Tetiba pak sopir memberhentikan laju busnya. Menjulurkan tangan keluar, menyetop sebuah angkot kosong. Sekejap kulihat waktu.

Pukul 15:50. Semua ketegangan membuncah, lepas. Semua ketetegangan hilang, sudah. Bergegas kami berpindah kendaraan. Meninggalkan bapak sopir yang telah menunaikan janjinya. Masih ada waktu. Bapak tua sopir angkot ini nampak tenang meski senbenarnya ia terburu-buru. Bukan karena kami, tapi karena sopir taksi dan ojek yang melarang angkot beroprasi lewat jam 16:00. Tak lagi ia pedulikan jalur angkotnya. Mencari jalan pintas, mengantarkan kami.

Pukul 16:16. Kami memasuki peron stasiun Purwokerto. Tepat 14 menit sebelum kereta dijalankan. Kami tertawa lepas. Menahan perut kami yang tak diisi makanan sejak siang tadi. Rasanya, ingin segera tidur panjang setelah perjalanan ini.

Pukul 16:30. Kita percaya, setiap ending perjalanan, pasti happy.



-------oOo-------


A thanks : 
Mba Medha (for the tittle of all, this writing too)
Mas Affan
Mas Hendri
Mia
Anggun
Mba Issa
Mas Ghofur



A respect :
-Petani ladang berbatu Dieng; untuk hadiah wortel, kentang dan cabainya.
-Bapak Sopir Minibus Dieng-Wonosobo; untuk cerita masa mudanya, juga pesan kehati-hatiannya.
-Bapak Sopir Bus Wonosobo-Purwokerto; untuk janji yang ditepatinya, juga telfon 5 coversationnya.
-Bapak Tua Sopir Angkot Terminal-Stasiun; untuk ke-sahaja-annya. Harga trayekmu tetap 4 ribu di saat genting ketika sopir lain meminta kami 10 ribu di saat santai.
-Rombongan tetangga tenda; untuk petunjuk jalan Prau-Kalilembu, kita tetangga lagi looh di kreta.
-Rombongan 3 mas-mas kelas eksekutif; rasa-rasanya kita selalu salip salipan dari stasiun-Prau-stasiun lagi.
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

4 comments

  1. Kentang yang dibawa pulang Mas Hendri apa kabar ya??
    *salahfokus*

    ReplyDelete
  2. Pas lihat kaos yang dipakai di profil sudah nebak pasti pernah muncak juga. dan Prau! Hahaha good job mas!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apa hubungannya muncak (hobby) sama job (pekerjaan) ?
      Ah, bingung :-?

      Delete

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Jeda . . .
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham | Distributed by Tech Leaps

Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top