dan nikmati setiap prosesnya.

Thursday, May 14, 2015

[ Tanyakan Tentang Cinta Padanya ]

Tanyakan tentang cinta padanya, pada Ayah. Maka ia akan punya sebaik dan seindah-indah jawaban. Tentunya lewat bahasanya yang tak se-biasa ketika orang jatuh cinta: emosional, meluap-luap, atraktif dan terkadang, absurd. Karena ia, dan kebanyakan Ayah di seluruh dunia tak pandai memainkan lisan maupun tulisan. Tak pandai berdiksi dan bermanis ucapan. Karena kebanyakan laki-laki di seluruh dunia ini adalah pendiam terbaik. Maka satu level cinta dari sosok Ayah adalah tak pernah membuat patah dan sakit hati.

Cinta mereka alami. Dimulai sejak senyum pertama seorang Ayah mengembang bersama buliran air mata yang bederai, saat kita dilahirkan.  Bertahun-tahun dan tak mengenal batas waktu. Maka kawan. Kuberi tahu satu rahasia tentang Ayah. Perhatikan saat ia tersenyum. Itu adalah akumulasi dari daya rasa cinta yang menggerakkan seluruh hidupnya.

Atau, jika memang kini 'jarak' dan 'waktu' memisahkan kita dengan Ayah. Atau jarak menjadi sedikit jauh karena kita dan Ayah berada di dua rumah tangga yang berbeda. Coba tarik ulur waktu jauh ke belakang saat kita masih kecil. Saat Ayah membonceng kita dengan sepeda kecilnya. Saat Ayah menggendong kita di pundaknya. Saat Ayah menggandeng kita dan bercerita tentang makna hidup. Saat ayah mengajak kita berkeliling kampung, kemudian saling duduk diam. Dan semua nasehat-nasehat yang dulu pernah ia petuahkan ke kita. Termasuk nasehat dari sorot kedua matanya yang diam  Semuanya adalah bingkai dari cintanya yang sulit dijelaskan.

Pernah satu waktu dimana aku menginjak remaja. Seperti remaja pada umumnya, aku sedang dalam pencarian jati dan identitas diri. Maka pada suatu malam minggu aku tak pulang ke rumah. Tak ada handphone saat itu untuk sekedar memberi tahu. Toh juga malam itu aku hanya begadang bersama teman di tempat biasa. Tak lebih. Tapi keesokan hari Ibu langsung memberondongku dengan puluhan pertanyaan dan pernyataan kekesalan, dengan nada tinggi. Marah. Satu kalimat dari marahnya Ibu yang sampai saat ini terngiang adalah: "semalam suntuk Bapak marah ke Ibu karena anak laki-lakinya tak kunjung pulang". Ayah marah? Kemudian kutengok serambi rumah. Terlihat Ayah sedang meneguk kopi kesukaannya. Dia menatapku yang berdiri di balik pintu, dan tersenyum.

Ada kebanggaan di mata seorang Ayah tentang semua anak-anaknya. Ada bahagia di dalam dada seorang Ayah saat anak-anaknya bisa menemukan bahagia. Ada cinta yang tak usah kau tanyakan berapa besarannya. Bisa jadi kita adalah pusat gravitasi dari seluruh hidup yang ia punya. Apa yang ia kerjakan, yang ia usahakan dengan seluruh tenaga, daya dan upaya sepanjang tahun adalah teruntuk sebuah siluet wajah kita yang (mungkin juga) sedang tersenyum menguatkan hidupnya.

Maka adakah alasan buat kita untuk membuatnya patah hati dan kecewa?

Tanyakan tentang cinta padanya, pada Ayah. Seseorang yang puluhan tahun kini baru kusadari, bahwa ia ku-idolakan di atas semua keterbatasannya. Seseorang yang harus kubanggakan dan kubahagiakan.



(Ditulis dalam perjalanan menuju kota Salatiga, Pendakian Gunung Merbabu. Dini hari, 14 Mei 2015)
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

2 comments

  1. :) nice post.. Seorang ayah memang punya cara sendiri mengajarkan cinta pada keluarganya, walau tanpa dilisankan..

    ReplyDelete

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Jeda . . .
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham | Distributed by Tech Leaps

Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top