Di detak-detik...
Langit jingga kota Karawang membenamkan kilau putih cahaya mentari yang
tak terjangkau kedua pasang mata, hingga mentari senja itu sedikit
temaram kilaunya. Bersisa sebulat bentuk matahari yang tak lagi putih,
namun berwarna jingga kemerahan. Indah di pandangan mata.
Sejak sore itu, aku mengacuhkan diriku pada keseharian hidup yang selalu
begitu adanya. Keseharian yang melupakanku pada tumpukan-tumpukan buku
di meja kamarku, juga draft-draft tulisan di dalam dashboard blogku.
Maka aku beranjak, bergerak menyusuri jalan padat menuju Jakarta.
Menikmati detak-detik yang Tuhan anugrahkan padaku, lewat langit senja
indah yang menemani perjalananku.
Di detak-detik...
Aku berjumpa dengan seorang bapak tua di teras masjid dekat Pasar Senen,
Jakarta. Maaf, mengganggu waktu rehatmu di tikar kecil milikmu. Yang
kau pinjamkan untukku, agar aku tak kedinginan di atas keramik masjid
saat menghadap haribaan Tuhan. Terima kasih bapak. Semoga engkau sehat
selalu.
Pun juga seorang ibu setengah baya yang duduk di sampingku sepanjang
perjalanan kereta Senja Utama Jogja. Nampak di raut wajahmu kerinduan
teruntuk anak, suami dan keluargamu. Hingga kau berpulang sepekan
sekali. "Kenapa tak diajak tinggal di Jakarta saja, Bu?". "Ah, engga
mas, masih enak di Jogja", tukasnya. Yah, tak ada yang lebih nyaman
selain kampung halaman, yang masih jernih airnya juga masih dingin
udaranya.
Di detak-detik...
Awalnya aku acuh pada kau yang duduk dan bicara di sampingku, di bus
antar kota Jogja-Solo. Namun aku mulai tertarik dengan ceritamu saat
mulai kaukatakan, "Mau aparat, mau anggota DPR sama saja. Sama-sama
bajinganya". Aku terkaget. Beberapa kali memandangimu. Seorang laki-laki
bertubuh gembul, berwajah riang. Tak nampak olehmu sosok garang. Namun
dari ceritamu, kutangkap satu kesimpulan. Man of big criminal sindicate
over Jakarta. Kau salah satu orang pentingnya. "Bilang saja temannya Mas
Tris", sambil menepuk perutnya yang sedikit buncit, "siapa sih yang ga
tau dari Senen hingga stasiun Bogor".
Tak tau kenapa kau jujur sekali padaku, pagi itu. Mungkin karena aku
antusias dengan dirimu, secara pribadi. Kutanyakan soal istri dan
anakmu. "Sebelum anak saya masuk SMA, aku sudah harus pensiun. Udah
capek, mas", sembari menghela asap rokok yang ia hisap. "Sekarang
targetnya lunasin rumah di Solo, sekian M. Sebulan aku harus bayar 100
juta". Aku ternganga. Ni udah bukan kelas teri lagi. Akhirnya kita
terpisah di kota Klaten. Semoga ada banyak waktu untuk keluargamu, juga
kau percepat tuk akhiri petualanganmu, itu.
Maaf, sedikit pun aku tak tertarik. Yang sedari tadi lebih mengganggu
benakku adalah matahari yang kian tinggi. Sedang aku harus bergegas
sampai, di bumi Mageti. Ayolah, bus ini terlalu sering berhenti. Dan
kupejamkan mata, berharap semua segera terlewati.
Di detak-detik...
Dari 7 tahun yang lalu aku selalu penasaran dengan nama pohon ini. Pohon
kekar berakar tunggang mirip pohon trembesi. Ia berbunga merah mekar di
waktu-waktu tertentu, dan kemudian jatuh berguguran satu per satu. Juga
Bapak tukang ojek yang mengantarkanku menuju alun-alun kota Magetan. Ia
pun belum bisa menjawab rasa penasaranku. Ah, selalu saja tidak ada
yang tahu.
Hari sudah terik, waktu sudah jauh terlewat. Aku sedikit canggung
menatap undakan-undakan Perpustakaan yang lengang ini. Seperti seorang
terasing, kaki ini gemetar. Lebih baik kupercepat saja langkah meniti
undakan-undakan ini. Sudah kepalang tanggung unduk mundur. Bukankah kau
berpulang memang untuk ini?
Di detak-detik...
Sekilas cepat perasaan ini berlari ke detik-detik waktu di awal
September 2013. Saat di pagi yang cerah, di 3 tempat berbeda,
Jakarta-Karawang dan Jember kita bermimpi membangun gerakan ini di bumi
pertiwi kita, Magetan. Entah bersebab apa, tapi yang pasti kita memiliki
mimpi yang sama. Tuhan memang Maha Baik, bukan? Di bulan yang sama saat
kita bermimpi, tahun ini, Tuhan jadikan mimpi-mimpi kita, sebuah
Gerakan Kelas Inspirasi Magetan. Tempat orang-orang -yang fitrahnya
baik- yang tidak hanya terketuk hatinya, tapi menjadikan ketukan baik di
hatinya dalam sebentuk kerja nyata. Sungguh, kalian jauh lebih hebat
daripada mas-mas yang kujumpa di bus Jogja-Solo itu.
Maka, teruntuk sahabat-sahabat Kelas Inspirasi Magetan. Saya hanya ingin
sedikit bercerita. Anggap saja aku ini adalah seorang bocah kecil yang
bermimpi tinggi menjadi seorang pelukis, yang hebat. Sedang tepat di
depan matanya, kalian membawakan bergulung-gulung kanvas juga
berwarna-warni crayon dan cat warna. Sehingga tanpa pikir panjang ia
raih kanvas dan cat warna itu, melukis bentuk-bentuk abstrak di dalam
otaknya, dengan sebebas-bebasnya. Mewarna pelanginya sendiri. Ia lupa
diri? mungkin. Ia lupa rasa letih? bisa jadi. Tapi baginya kini, hidup
dalam mimpinya yang nyata sungguhlah indah.
Di detak-detik...
Nampak di bahasanya yang selalu diam, tak banyak berkata-kata. Sambil
menatap wajahku sejenak, kemudian meluruskan pendangannya sejurus ke
depan. "Hei, anak muda. Masaku akan segera habis. Sungguh kini, di
punggungmu menanti tugas berat yang segera kau tanggung. Jika kegiatan
yang kau ikuti ini mendewasakanmu, sebenarnya Ayah tak melarangmu. Tapi
janganlah kau berpulang terlalu terlambat. Kereta yang mengantarkanmu ke
Jakarta tak akan menunggumu lama". Peluk dan cium hangat untuk Bapak
tersayang.
Di detak-detik...
Nampak di bahasanya yang selalu ceria, penuh dengan cinta. Sambil
mengaduk-aduk semanis gula dan sejumput daun teh di segelas rasa manis,
semanis pagi bersamamu. "Kenapa sih harus pulang? Kan lebaran kemarin
sudah. Ah, terserah kamu aja lah mas..mas... Kamu memang dari dulu
aneh-aneh saja. Makanya semalam tak biarin aja kamu tidur di ubin tanpa
tikar. Mungkin pengap Jakarta dan Karawang sudah membosankanmu, hingga
kamu pun rindu pada dingin-dingin desa kita, di rumah kita. Mimpilah
yang indah, ya...mas". Peluk dan cium hangat untuk Ibu tersayang.
Di detak-detik...
Maaf untuk adik, yang tak bisa kuhadirkan banyak waktu untukmu, kecuali
detik-detik dan menit-menit singkatku di rumah. Tak ada canda kelahi
kali ini. Tak ada manja-manja di waktu ini. Kau keras juga ternyata,
seperti halnya aku. Tak mudah meluluhkanmu. Tapi tolonglah, turunkan
sedikit ketus bicaramu, terutama di depan Bapak dan Ibu. Mereka semakin
tua. Buatlah mereka lebih nyaman. Di sampingmu.
Tak ada buku juga kali ini. Yang kemarin selesaikan dulu. Baru nanti kukirimkan lagi dari Karawang.
Di detak-detik...
Aku turut merasakan cintamu yang begitu besar pada putramu yang masih
kecil, Pak Sagung Wibowo. Saat kau antarkanku menuju rumah sore itu.
Ngobrol juga kita akhirnya. Maafin kami ya, yang masih muda-muda tapi
masih saja ngrepotin sampean. Lain kali kenalkan juga pada Pak Andi dan
Pak Petani yang kece itu. Biar rasa muda ini berlumuran lebih banyak
rasa malu, agar aku semakin giat nulis. Atau setidaknya ajari diriku
menjadi bapak yang sekeren dirimu. Nitip salam buat simbah, makasih buat
sajian kue legitnya.
Sejujurnya aku tak begitu suka kopi. Tapi duduk santai di detik-detik
tertentu membicarakan banyak hal ditemani secangkir kopi adalah
pengecualian. Semoga Tuhan anugrahkan waktu untuk kita bertemu di
detik-detik itu.
Di detak-detik...
Bangga mengenal sosok-sosok seperti kalian. Pak Sagung, Mas Heri, Mas
Andian, Mas Adip, Mas Dayat, Mas Pria, Mas Wira, Mas Muklis. Juga Mbak
Shelvya, Mbak Dita, Mbak Nana, Mbak Lia, Mbak Ita, Mbak Shella, Mbak
Wahyu, Mbak Vita, Mbak Devi, Mbak Ajeng, Mbak Ratna, Mbak Riska, Mbak
Apin, Mbak Sari, Mbak Meryn, Mbak Diah Septi. Belasan nama yang siap
menjinggakan bumi Magetan. Sebuah lentik-lentik indah di gersangnya
tanah kita.
Semoga jalinan keluarga Kelas Inspirasi Magetan ini tak terputus hanya
sampai Hari Refleksi, nanti. Tapi terus menyebar, berlipat,
berekponensial, dan berganda-ganda. Hingga melangit dan membumi.
Teruslah bersemangat. Karena orang-orang yang semangat, selalu
mewabahkan hangat. Kita ajak lebih banyak orang Magetan untuk terlibat.
Berjalan bersama kita.
Ada kalanya canda, ada kalanya bertengkar. Di setiap jengah dan rasa
kesal semoga kita menjadi gerakan sosial yang selalu siap bergembira,
siap lecet-lecet, siap saling menutup, siap tambah keringat dan tentunya
siap bersyukur (5 kalimat penyamangat Pak Hikmat Hardono dalam FGIM).
Lebih jauh semoga menjadi jalinan yang saling menguatkan kita, satu sama
lain.
Ma'af aku tak bisa hadir di Hari Inspirasi nanti. Ma'af. Selamat jor-joran dan berjuang habis-habisan.
Di detak-detik...
Di dalam pagi udara ini masih jernih, airnya masih dingin, dan lalat masih sedikit, di bumi Mageti.
Di dalam pagi cinta ini masih bersemi, rindu selalu terobati, mimpi kian menggamit-gamit...di bumi ini.
Seperti
yang selalu kusampaikan pada sahabat-sahabat di akhir masa sekolah dari
SD hingga kuliah, maka ingin kusampaikan juga pada kalian.
"Kawan...
Kelak pasti akan ada satu waktu,
Dimana kita bertemu,
Bercerita jalan yang telah kita lewati dalam perantauan dan hidup,
Waktu dimana secangkir kopi begitu hangat,
Melekat di urat-urat yang kian menua.
Bangga mengenal kalian"
Agar setiap membaca tulisan ini, aku bisa langsung disegap rindu di detik-detik itu.
Di detak-detik...
Rasanya baru sekejap, hanya sedetik saja. Aku sudah duduk kembali di
kereta Gaya Baru Malam Selatan. Menyisir sisi utara Gunung Lawu, menjauh
dan meninggalkannya. Mata ini berkaca-kaca di depan kaca jendela yang
menyuguhkan jingga senja yang menyilaukan. Menyajikan hijau ladang
persawahan yang meneduhkan. Dan kutinggalkan.
Lagu Avenged Sevenfold, Dear God, menemaniku sepanjang jalan yang
sunyi ini, membentang diantara kota-kota yang sedang dingin, membeku.
Jauh, berkilo-kilo meter jauhnya dari orang-orang yang kucinta.
Di detak-detik...
Rasanya baru sekejap, hanya sedetik saja. Aku sudah berbaju batik
seperti biasa di waktu pagi mengantri sarapan. Oh, iya pagi nanti di
tempat kerja aku kebagian jadwal menjadi komandan apel pagi. Ah,
pikiranku melayang kembali di masa-masa SD kelas 6 dulu. Menjadi
komandan upacara setiap Senin sepanjang tahun.
Ingin rasanya hadir Senin depan nanti. Teramat ingin. Menatap riang
wajah-wajah lugu penuh mimpi di Hari Inspirasi. Mengenang masa kecilku,
yang dulu seperti itu.
Di detak-detik...
Rasanya baru sekejap, hanya sedetik saja. Dalam diam tepekur aku pun
sadar, bukankah memang pada hakikatnya hidup ini memang sesingkat itu?
Sekejap. Sedetik. Terlepas. Dan mati. Maka berikanlah makna terbaik di
detik-detik singkat itu.
Seperti halnya putik-putik Dandelion. Biarkan ia terlepas, terbang, melayang dan jatuh di bumi yang lain. Dan bermekar.
Di detik-detik...
Waktu fajar...
0 comments