dan nikmati setiap prosesnya.

Friday, June 07, 2013

[ Riak-riak Rasa, Reunion - Part. 1 ]

17 February 2013, Diary Note

Terima kasih ukhti buat pinjaman bukunya

Sepotong kalimat di bukunya menginspirasi tulisan ini, Riak-riak Rasa ...



Everything come and go, then one time in our life crosses the 'Reunion' 
       Siang pun datang, malan kini tlah berlalu. Sepulang jalan-jalan dengan si Adek pagi itu, langsung disambut sebungkus nasi pecel yang dibelikan Ibu di pasar. Seperti biasanya. Dua-tiga kepalan karbohidrat bersayur hambar tanpa rasa, kemudian dibalur rasa pedas khas. Improvisasinya pun hanya terdengar dari gemeriak tempe goreng tipis berbalur tepung manis. Aihh. Nikmatnya berkah pagi. Cukup untuk mengisi kembali kalori tubuh dan memulai aktivitas hari Minggu. Sekarang sudah lebih enak sih. Tak ada lagi menyapu lantai, membersihkan korden jendela, menyiram tanaman ataupun memberi makan anak-anak ayam. Sudah di-handling semua oleh Si Adek semenjak ane berangkat ke Jakarta. Dan ketika pulang pun masih tetap sama. Membuat ane terkadang bingung mau ngapain di rumah.  

       Langsung saja kutancap gas motor Supra hitam di teras rumah. Jadilah pagi itu saya ke rumah Saripah. Nama keren dari Aan. Sohib semasa di kampung halaman. Sedari saya pulang ane gagal meyakinkan dia kalau sekarang saya lagi di rumah. Hanya lewat sms sih. hehee. Mungkin memang harus lihat langsung muka ane pake mata kepala dia. Tiga-empat kilometer dari sumah ane. Berjalan sepanjang jalan dari barat ke timur desa. Dalam konteks orag Jakarta mungkin jarak yang dekat untuk sekedar berjalan kaki. Karena mobilitas perkotaan yang tinggi. Namun bagi orang-orang kampung bisa jadi jarak yang cukup panjang nan melelahkan jika dikontekskan sekedar berkunjung ke rumah. Harus pake motor lah, males jalan lah. Ckckck. Di sepanjang jalan itu pulalah kembali mata ane melirik kanan kiri bak penghapus kaca mobil memandang rumah-rumah apik berjejer di pinggiran jalan. Memang, pola perumahan di kampung ane adalah pola memanjang mengikuti jalan utama. Jadilah kenangan tempo kecil muncul lagi, saat dulu SD, mengayuh sepeda di jalan yang sama ke sekolah.

       Rumahnya Si Saripah tepat di samping SDN Truneng, tempat ane belajar dulu. Semasa STM  pun rumah itu jadi rumah ke dua bagi ane. Puhon sawo yang menjulang menjadi atap tidur di kala siang. Pohon mangga yang rindang menjadi sasaran di bulan ramadhan. Dan pohon jambu biji di belakang rumah menjadi angkringan kecil sembari mengisi perut. Halamannya luas, dulunya bekas rumah yang dirubuhkan. Batu-batanya masih tersusun rapi membentuk persegi panjang nan melebar, Cukuplah buat bermain futsal. Walau itu ga pernah dicoba. Palingan buat anak-anak kecil memutar sepeda kecilnya di waktu sore. Jika malam datang, 'lincak' yang ada di teras rumah dipindah ke pinggiran jalan. 'Nongnkrong' bahasa kerennya. Tapi apanya yang keren? Hlawong cuma nglihat orang wira-wiri, gelap lagi. Yah, paling tidak saat-saat seperti itu kita ane bisa berkumpul dengan mereka. Sohib luar biasa. Bercanda, tertawa lepas, neriakin orang lewat. Uang seribu rupiah di kantong bisa jadi sepuluh ribu rupiah di tempat itu. Jadilah sebungkus rokok, atau sekedar gorengan khas kampung. Atau jika ada uang lebih, tempat nongkrong dipindah ke warung kopi. Sampai larut malam pun tak jadi hati. Apalagi jika malam minggu, ga ada kata pulang sebelum pagi. Lewat jam 12 malam, kita kembali dari warung kopi ke tempat ini lagi. Digeser sedikit ke pinggir lapangan. Membebaskan malam. Ada yang mencari makanan. Ada yang membakar ilalang kering di tengah lapangan. Ada pula yang sekedar terbaring menatap langit yang terang. Menunggui 'mereka' yang mabuk, sempoyongan. Aihh...Nostalgia

       Selalu dengan panggilan yang tak pernah berubah
     "Weh, muleh tenan to koe, Dot"
     "Saiki lagi percoyo kan? Tangi-tangi, nom-noman tura-turu ae"

Dia masih tidur ketika ane datang. Dan seperti biasa pasti disambut oleh sambutan teramah dari Bapak dan Ibunya. Sesekali adik perempuannya tertawa kecil melihat ane. Selama pagi itu pula perbincangan panjang pun dimulai. Ckckckc. 

     "Sekarang Ketring udah ditempatin di Malang"
     "Kalau Danon"
     "Isih neng Dipo, Pendidikan"
     "Hla Bondet??"
     "Mbuh cah'e ki. Isih kuliah kok"
     "Hla kowe dewe pie pah? kapan rabi?
     "Halah, golekno cewek cah Jakarta aku Dot"

Dan sederet nama-nama lain yang ane tanyain. Mendengar kabar mereka seperti saat ane  melihat cermin masa lalu. Kini beberapa teman sebaya ane sudah pada jadi TNI. Mimpi sebagian besar anak-anak kampung. Mngkin hanya ane yang bermimpi lebih besar dari itu. Walau dalam pandangan mereka mungkin jadi dibilang aneh dan gila. Yah,,minimal bagi mereka disitulah 'besar'nya. Besar gila-nya maksudnya.



       Kawan...

       Kelak pasti akan ada satu waktu
       Dimana kita bertemu
       Bercerita jalan yang telah kita lewati dalam perantauan dan hidup
       Waktu dimana secangkir kopi begitu hangat
       Melekat di urat-urat yang kian menua

...................................................



Riak-riak Rasa itu...kian semarak



(...to be continued)
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Jeda . . .
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham | Distributed by Tech Leaps

Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top