17 February 2013, Diary Note
Terima kasih ukhti buat pinjaman bukunya
Sepotong kalimat di bukunya menginspirasi tulisan ini, Riak-riak Rasa ...
Everything come and go, then one time in our life crosses the 'Reunion'
Siang pun
datang, malan kini tlah berlalu. Sepulang jalan-jalan dengan si Adek
pagi itu, langsung disambut sebungkus nasi pecel yang dibelikan Ibu di
pasar. Seperti biasanya. Dua-tiga kepalan karbohidrat bersayur hambar
tanpa rasa, kemudian dibalur rasa pedas khas. Improvisasinya pun hanya
terdengar dari gemeriak tempe goreng tipis berbalur tepung manis. Aihh.
Nikmatnya berkah pagi. Cukup untuk mengisi kembali kalori tubuh dan
memulai aktivitas hari Minggu. Sekarang sudah lebih enak sih. Tak ada
lagi menyapu lantai, membersihkan korden jendela, menyiram tanaman
ataupun memberi makan anak-anak ayam. Sudah di-handling semua oleh Si
Adek semenjak ane berangkat ke Jakarta. Dan ketika pulang pun masih
tetap sama. Membuat ane terkadang bingung mau ngapain di rumah.
Langsung
saja kutancap gas motor Supra hitam di teras rumah. Jadilah pagi itu
saya ke rumah Saripah. Nama keren dari Aan. Sohib semasa di kampung
halaman. Sedari saya pulang ane gagal meyakinkan dia kalau sekarang saya
lagi di rumah. Hanya lewat sms sih. hehee. Mungkin memang harus lihat
langsung muka ane pake mata kepala dia. Tiga-empat kilometer dari sumah
ane. Berjalan sepanjang jalan dari barat ke timur desa. Dalam konteks
orag Jakarta mungkin jarak yang dekat untuk sekedar berjalan kaki.
Karena mobilitas perkotaan yang tinggi. Namun bagi orang-orang kampung
bisa jadi jarak yang cukup panjang nan melelahkan jika dikontekskan
sekedar berkunjung ke rumah. Harus pake motor lah, males jalan lah.
Ckckck. Di sepanjang jalan itu pulalah kembali mata ane melirik kanan
kiri bak penghapus kaca mobil memandang rumah-rumah apik berjejer di
pinggiran jalan. Memang, pola perumahan di kampung ane adalah pola
memanjang mengikuti jalan utama. Jadilah kenangan tempo kecil muncul
lagi, saat dulu SD, mengayuh sepeda di jalan yang sama ke sekolah.
Rumahnya
Si Saripah tepat di samping SDN Truneng, tempat ane belajar dulu.
Semasa STM pun rumah itu jadi rumah ke dua bagi ane. Puhon sawo yang
menjulang menjadi atap tidur di kala siang. Pohon mangga yang rindang
menjadi sasaran di bulan ramadhan. Dan pohon jambu biji di belakang
rumah menjadi angkringan kecil sembari mengisi perut. Halamannya luas,
dulunya bekas rumah yang dirubuhkan. Batu-batanya masih tersusun rapi
membentuk persegi panjang nan melebar, Cukuplah buat bermain futsal.
Walau itu ga pernah dicoba. Palingan buat anak-anak kecil memutar sepeda
kecilnya di waktu sore. Jika malam datang, 'lincak' yang ada di teras
rumah dipindah ke pinggiran jalan. 'Nongnkrong' bahasa kerennya. Tapi
apanya yang keren? Hlawong cuma nglihat orang wira-wiri, gelap lagi.
Yah, paling tidak saat-saat seperti itu kita ane bisa berkumpul dengan
mereka. Sohib luar biasa. Bercanda, tertawa lepas, neriakin orang lewat.
Uang seribu rupiah di kantong bisa jadi sepuluh ribu rupiah di tempat
itu. Jadilah sebungkus rokok, atau sekedar gorengan khas kampung. Atau
jika ada uang lebih, tempat nongkrong dipindah ke warung kopi. Sampai
larut malam pun tak jadi hati. Apalagi jika malam minggu, ga ada kata
pulang sebelum pagi. Lewat jam 12 malam, kita kembali dari warung kopi
ke tempat ini lagi. Digeser sedikit ke pinggir lapangan. Membebaskan
malam. Ada yang mencari makanan. Ada yang membakar ilalang kering di
tengah lapangan. Ada pula yang sekedar terbaring menatap langit yang
terang. Menunggui 'mereka' yang mabuk, sempoyongan. Aihh...Nostalgia
Selalu dengan panggilan yang tak pernah berubah
"Weh, muleh tenan to koe, Dot"
"Saiki lagi percoyo kan? Tangi-tangi, nom-noman tura-turu ae"
Dia masih tidur
ketika ane datang. Dan seperti biasa pasti disambut oleh sambutan
teramah dari Bapak dan Ibunya. Sesekali adik perempuannya tertawa kecil
melihat ane. Selama pagi itu pula perbincangan panjang pun dimulai.
Ckckckc.
"Sekarang Ketring udah ditempatin di Malang"
"Kalau Danon"
"Isih neng Dipo, Pendidikan"
"Hla Bondet??"
"Mbuh cah'e ki. Isih kuliah kok"
"Hla kowe dewe pie pah? kapan rabi?
"Halah, golekno cewek cah Jakarta aku Dot"
Dan sederet
nama-nama lain yang ane tanyain. Mendengar kabar mereka seperti saat ane
melihat cermin masa lalu. Kini beberapa teman sebaya ane sudah pada
jadi TNI. Mimpi sebagian besar anak-anak kampung. Mngkin hanya ane yang
bermimpi lebih besar dari itu. Walau dalam pandangan mereka mungkin jadi
dibilang aneh dan gila. Yah,,minimal bagi mereka disitulah 'besar'nya.
Besar gila-nya maksudnya.
Kawan...
Kelak pasti akan ada satu waktu
Dimana kita bertemu
Bercerita jalan yang telah kita lewati dalam perantauan dan hidup
Waktu dimana secangkir kopi begitu hangat
Melekat di urat-urat yang kian menua
...................................................
Riak-riak Rasa itu...kian semarak
(...to be continued)
0 comments