dan nikmati setiap prosesnya.

Saturday, January 31, 2015

[ Terserah Engkau Saja ]

Waktu itu aku kelas 2 SMK. Sepanjang perjalanan sekolahku dari Taman Kanak-Kanak dulu, tak ada yang memberiku hadiah mewah jika deretan nilai di raporku berjejer angka 8 dan 9, bahkan jika aku dapat ranking, termasuk dari Ibu dan Ayahku. Satu satunya hadiah mewah yang diberikan Ibu dan Ayah untukku adalah sebuah sepeda Federal warna hijau 35 gigi kecepatan yang sudah hilang perseneling belakangnya, sehingga hanya dipakai satu gigi kecepatan saja. Saat kukayuh di jalan datar dan menanjak rasanya sama saja, ngilu. Itu pun dibelikan untukku dengan agak terpaksa. Karena hampir semua anak seusiaku, pada waktu kelas 4 SD dulu sudah dibelikan sepeda oleh Ayahnya. Maka, memiliki hadiah mewah adalah utopia bagiku. Juga mimpi bagi anak-anak keluarga miskin  di kampungku.

Pernah satu waktu Ayah dan Ibu berjanji akan membelikan satu set meja belajar jika aku juara 1 saat kelulusan SD. Itu pun mereka sanggupi karena setiap hari aku merengek pada mereka minta dibelikan hadiah mewah. Berhari-hari, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun. Mungkin karena tak ingin semangat belajar anak lelaki pertama satu-satunya luntur, Ayah dan Ibu pun menyanggupi dengan jawaban berat. Dengan senyum yang terlihat jelas sekali dipaksakan. Aku pun menelan ludah. Pahit

Hal itu pula yang membuat aku memilih meneruskan sekolah ke SMK setelah lulus SMP. Menolak dengan terang-terang tawaran Ayah dan Ibuku agar aku sekolah ke SMA saja, kemudian nanti mendaftar jadi anggota TNI dengan menjual sebidang tanah warisan nenekku sebagai biaya masuk. Aku menunduk saat Ayah dan Ibu mengatakan hal itu dengan suara pelan. Tak mampu kutahan air mata. Sebidang tanah yang telah menghidupi aku, adikku, Ayah dan Ibuku hingga aku remaja dan bisa bersekolah itu akan dijual demi sebuah pekerjaan. Ah, aku tak sudi! Maka aku memlih bersekolah di SMK, di Madiun. Sekolah yang katanya paling favorit se-karesidenan Madiun. Toh, nilaiku juga lumayan. Dan setelah lulus buru-buru mencari pekerjaan untuk membantu Ayah dan Ibu menyekolahkan adikku. Tak perlulah sekolah tinggi-tinggi.

Kini, aku sudah kelas 2 SMK. Waktu dimana aku bersekolah dari tengah hari hingga senja hari. Dan waktu ini adalah saat dimana Ayah dan Ibu memberiku hadiah mewah tanpa kuminta, sebuah sepeda motor. Ayah menggandengku menuju motor tuanya. Senyumnya mengembang. Mengantarkanku ke tempat adik sepupu jauhnya yang memiliki sebuah delaer sepeda motor bekas. Ah, motor bekas atau baru saja. Itu adalah hadiah  mewah bagiku. Ayah akan membelikanku sebuah hadiah mewah. Amboi, indah sekali dunia ini. Ia memboncengku. Kemudian melingkarkan kedua tanganku di perutnya. Dari hari itu hingga sekarang, dadaku selalu mengembang saat Ayah memboncengkan aku di motornya. 

Di tempat adik sepupu Ayah, mataku berbinar. Berjejer-jejer motor dipajang di lantai utama. Mataku tak lepas dari sebuah motor berwarna merah yang perada di sudut ruangan. Ayah membacaku. Ia tersenyum pelan membesarkan hatiku. Ternyata sebelum ini Ayah sudah mencapai kesepakatan dengan adik sepupunya untuk pembelian sepeda motor untukku. Yang diparkir tepat di barisan depan, dekat pintu tepat di depanku. Aku telah jatuh hati pada motor berwarna merah tadi saat ayah mengatakan hadiah mewah untukku adalah motor yang sudah diparkir di depanku. Berbeda jauh. Aku menunduk luluh lantak. Ayah menggenggam pundakku mendekatkan wajahnya padaku. Menatapku. Diam.

Terlihat di binar matanya yang tak lagi muda. Gambar Ayah yang telah membanting tulang siang malam demi aku, adik dan Ibuku. Ia membeli anak sapi dengan harga murah untuk dipelihara hingga dewasa dan menjualnya. Kemudian ditambah dengan uang simpanan hasil bertani sepanjang musim, ia belikan lagi sapi yang lebih dewasa agar jika dijual nanti harganya menjadi lebih tinggi. Itu dilakukan Ayah dari tiga tahun yang lalu. Untuk mecukupi kebutuhan sekolah dan belanja Ibu, Ayah masih harus nguli manol, menjadi kuli pengangkut berkarung-karung hasil bumi ke mobil para tengkulak. Kadang menjadi kuli pemecah batu, kadang mencari batu di sungai untuk dijual, nguli apa saja.

Itulah Ayahku. Demi membelikan sebuah hadiah mewah untukku. Sebagai permohonan maaf karena tak mampu membelikan sebuah meja belajar untukku saat kelulusan SD. Saat Ayah menatap mataku dalam-dalam, Aku merasakan punggung Ayah yang telah biru lebam diperas tenaganya, tangan Ayah yang kering kasar terbakar matahari, kaki Ayah yang sedikit pincang melawan beban hidup teruntuk keluarganya. Air mataku meleleh. ''Maaf Ayah. Untuk hadiah ini. Terserah engkau sajalah.''

www.dakwatuna.com

Waktu terus berjalan. Perlahan tapi pasti. Tak menunggu orang peduli. Jam dinding tetap saja berputar meski kita hanya meliriknya sekejap pagi dan sore hari. Tak dirasa, waktu juga yang telah menambah angka usiaku. Dan kini lihatlah aku, duduk melamun sepi di teras lantai dua kontrakan milik Pak Haji. Sesekali kulihat jalan yang membelah desa Sirnabaya ini. Sibuk dan ramai. Sangat kontradiksi.

Tak dirasa pula sudah tahun ke tujuh hadiah mewah dari Ayahku menemani perjalananku. Yang cintanya selalu menyertai dalam jok motor yang kududuki. Yang kasihnya selalu membersamai dalam ayunan setir kemudi. Yang semangatnya selalu terbayang dalam imaji, menemani persinggahanku negeri demi negeri. 

Seperti tak sadarnya aku dengan waktu, seperti itulah aku mencintai motor tua hadiah mewah dari Ayahku ini. Jika kelulusan SMK dan kuliahku di Jakarta adalah bentuk dari ilmu yang bermanfaat yang tak lekang meski kita mati, maka Ayahku lebih berhak atas pahala ilmu yang bermanfaat itu. Jika berbagi tumpangan dengan sepeda motor ini adalah bentuk amal jariah, maka Ayahku pulalah yang hakikatnya sedang memanen limpahan pahala dari sepeda motor hadiahnya untukku tempo dulu. Dari kampungku di Magetan sana hingga aku berkeliaran di jalanan dan liku-liku ibukota Jakarta yang tak ramah, semua kujalani bersama sepeda motor tua ini, sebuah hadiah yang kini baru kusadari betapa mewahnya hidupku dan indahnya cinta Ayah untukku.

Hari ini, aku berada di sebuah kutub moderat. Hidup dengan pekerjaan yang tak memberiku banyak kelimpahan. Tapi cukup memberikan kemanan finansial, terjamin secara sederhana, terlindung oleh sistem, stabil secara psikologis, dan mapan secara sosial. Sedikit banyak aku sudah mengurangi beban pekerjaan Ayahku karena aku sendiri sudah berpenghasilan. Dan sering-sering membantu kebutuhan ibu dan kuliah adikku.

Maka hal jamak yang kini bertengger di otakku kini secara garis besar ada dua. Melanjutkan kuliah dan menikah.

Untuk hal pertama Ayah dan Ibuku tak ambil pusing, semua terserah ke aku. Bagiku secara pribadi ,belajar dan kuliah adalah salah satu bentuk investasi. Bukan sekedar untuk mengejar dan membuktikan sesuatu, namun untuk belajar itu sendiri. Sebagai perayaan dan penghargaan pada diri sendiri. Sebagai rasa terima kasih pada Ayah yang telah mengajarkan aku menjadi seorang laki-laki. Sebagai rasa terima kasih atas hadiah mewah yang telah Ayah berikan untukku tujuh tahun yang lalu untuk aku bersekolah. 

Untuk perihal yang kedua, saat kusampaikan pada Ayah dan Ibuku. Baik secara langsung maupun lewat bincang telepon. Jawaban Ayahku selalu sama, ''Memang sudah ada calon?'', tanyanya meremehkanku. Dan jawabanku selalu sama dan kuulang-kulang ''Belum!'', benar-benar diremehkan. Berbeda dengan Ibu yang langsung memberondongku dengan bermacam-macam petuah bijak, ini dan itu. Maka, pembicaraan soal menikah dengan Ayah dan Ibuku selalu berujung dengan tawa lepas diantara kami, juga ledak tawa mendadak adikku yang nyata-nyata meremehkanku. Sial, ini bukan soal remeh-temeh, gumamku menelan senyum. Di sudut pandang yang lain, tawa kami, adalah bentuk kebahagiaan besar bagi keluarga miskin kami selama bertahun-tahun. Sebuah perayaan kebebasan.

Jika hadiah mewah itu diberikan oleh orang tua ke anak-anaknya, maka perhiasan terindah bernama jodoh hanya ditentukan oleh Yang Maha Mencipta. Sering ketika aku berharap pada Tuhan tentang bagaimana jodohku, aku disergap pada satu waktu dimana Ayah akan membelikanku hadiah sepeda motor tujuh tahun yang lalu. Saat aku sangat menginginkan sebuah sepeda motor berwarna merah, tapi Ayah membelikanku sepeda motor yang jauh dari harapanku. Rasanya sama ketika hari ini hati begitu tertarik dengan sesosok makhluk bernama wanita. Oleh karena itu, kini aku lebih mampu membesarkan diri. Dan kukatakan, ''Tuhan, teruntuk jodohku. Terserah Engkau sajalah!''

-------oOo-------

Inspirasi:
  - Buku Ganti Hati, Dahlan Iskan
  - Buku Edensor, Andrea Hirata
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Jeda . . .
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham | Distributed by Tech Leaps

Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top