dan nikmati setiap prosesnya.

Monday, December 08, 2014

[ Nun Jauh di Sana - Chapter 4 ]


~ Seindah Bentuk Karya ~
___________________________________



Ia adalah salah satu sahabatku semasa duduk di bangku SMP dulu. Namanya Heppy Pomy. Sosok laki-laki berambut ikal berparas tegap. Doa yang baik di dalam namanya menjadikan ia sosok yang riang meski banyak teman lain yang menganggap beberapa kebiasaannya aneh. Satu hal yang membuat saya kagum padanya adalah kebiasaannya bersekolah dengan bersepeda dari Kepolorejo, rumahnya, meski keluarganya termasuk golongan menengah ke atas. Sedikit sekali diantara teman-teman SMPN 4 Magetan-ku dulu yang lebih memilih bersepeda ketika bersekolah. Kebiasaan seperti itu tidak aneh, kan? Masih teringat olehku, kita sering duduk sebangku berdua membicarakan banyak hal.

Andaikan saja banyak anak-anak muda Magetan yang seperti dia. Agar tak seperti segerombolan anak muda di titik-titik putih memanjang yang kupandang dari perjalanan menuju Sendang Drajat kala itu. Sederhana dalam karya.

Mungkin berawal dari hal itu pula, kini ia mendapatkan pekerjaan yang bagiku keren. Seorang Tukang Pos, sang penyampai kerinduan. Juga pengantar amanah. Tentunya kini ia tidak lagi menggunakan sepeda abu-abunya lagi karena surat yang ia antar sejangkauan pelosok negeri. Berganti sepeda motor yang berderu menembus debu jalanan.

Begitu pula pagi yang cerah lagi indah ini, aku dan adikku berboncengan mengendarai motor berderu membelah kota Solo menuju Jogjakarta. Hari-hari itu di bulan Mei 2014, adalah masa sepekan liburan dari penatnya memeras keringat di kota Karawang. Embun pagi kota-kota yang kulewati sungguh bersahaja. Tetap segar berderai dibawai semilir angin pegunungan. Begitu pula kendaraan-kendaraan berplat AE hingga AB, berjalan takzim melintasi jalan. Seakan enggan merampas hak pengguna jalan yang lain, seperti yang biasa kusaksikan di metropolitan. Tak kurelakan melewati retorika alam pagi itu dengan sia sia. Kupelankan deru motor yang kukendarai. Menyimak lekat-lekat setiap sudut pandangan mata, biar ia-nya selalu membekas dalam jiwa. Indah dalam karya

Hingga di salah satu perempatan aku berhenti. Nampaknya itu adalah simpangan tersibuk sepanjang jalan ini. Di seberangnya sesosok nenek sedang sibuk memilih tangkai-tangaki kedelai yang sudah dimasak semalam sebelumnya. Disimpan dalam sebuah tumbu dari anyaman bambu untuk dijual sepagi itu. Usianya sudah jauh dari kata muda. Mungkin di sekitaran 70 hingga 80 tahunan. Sudah lanjut lanjut usia, hingga senyumnya pun tampak sangat biasa, apa adanya. Bulir-bulir keringat bercucuran dari rambut putihnya, meluncur di  pipinya, dan membasahi baju stagen tua miliknya. Membiaskan sinar mentari pagi itu, memantulkan buih-buih rizqi yang sudah dijanjikan Tuhannya. Semangatnya jauh melewati batas usianya. Ihtiarnya jauh melampaui renta tubuhnya. Buah karyanya bersahaja. Bersemangat dalam karya.

Dari situ, ia menjaga dirinya dari meminta-minta kepada orang lain. Dari situ pula ia mencukupi kebutuhan hidupnya dengan cara yang baik lagi halal. Mungkin bersebab itu, ketika dihisab nanti. Dengan gemetar ia mengajukan permohonan pada Tuhannya yang Maha Adil. ‘’Ya Rabb, dengan tangan ini, dengan kaki ini, dengan keringat ini. Aku mengharap rizqi dari Engkau dengan cara yang baik dan halal. Tak kurelakan tangan ini mengambil harta yang bukan milikku. Tak kuizinkan kaki ini melangkah ke tempat yang kau larang. Tak kuperkenankan hati ini merasa kekurangan, atas segala bentuk nikmat yang telah Engkau titipkan, sekalipun itu kecil dan sedikit sekali. Tanyakan pada tangan dan kakiku ini, Ya Rabb.’’

Maka kita patut berkaca. Menatapi setiap lekuk wajah, bentuk tangan dan tekuk kaki. Ia-nya akan menjadi persaksian yang tak terbantahkan. Sudahkan ia-nya kita pergunakan untuk sebuah bentuk kerja nyata yang tulus. Ikhlas dalam karya.

Hari pun semakin siang saat aku menikung pelan di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, yang masih remang. Ini saatnya aku kembali bertemu dengan mas Deki juga sahabat-sahabat FGIM dalam sebuah acara refleksi di kampus Paramadina. Sebulan seusai acara. Terik mentari menyengat khas ibukota kian meneduh melihat seragam hijau-hijau mereka. Orang-orang baik yang mau ikut turun tangan. 
Dalam sebuah sambutan siang itu, sang Content Coordinator, Mas Rahmat Danu Andika mulai bercerita. ‘’Saat di FGIM kemarin, salah seorang teman dari sahabat saya merasa handphone-nya tertinggal di sekitaran anak tangga ketika duduk mengantri masuk ke dalam Ecovention Hall.’’ Karena siang itu ribuan relawan hadir, tumplek blek ikut kerja bakti. ‘’Seorang teman itu baru tersadar ketika sudah masuk dalam salah satu kelas. Namun saking menarik dan luar biasanya acara, ia tak lagi memperdulikan handphone yang tertinggal. Larut dalam sebuah bentuk kerja. Hingga setelah selesai beberapa wahana ia keluar gedung untuk pulang. Dengan penasaran diarahkan langkah kakinya menuju anak tangga tempat ia mengantri tadi. Dan  dengan sungguh tak terduga, miliknya masih pada tempatnya. Tak pergi kemana-mana. Tak ada tangan yang usik mengambilnya.’’ Maka ia pun berkata, ‘’ sungguh, di Jakarta ini masih ada orang baik.’’ 

Pun jua di Indonesia ini, saya yakin pasti ada orang-orang baik itu. Apalagi di kota kita. Pastinya jauh lebih banyak. Yang jujur dalam karya.


-------oOo-------


Lebih jauh lagi. Ini kisah dari zaman selah kenabian. 15 abad silam. Mari belajar lebih jauh lagi dari salah satu sosok agung zaman itu.

Yazdajird III, Kisra Persia terakhir dari keluarga Sassanid. Ketika istana putih Madain kebanggaanya hampir jatuh di tangan kaum Muslimin yang dipimpin shahabat Nabi yang mulia, Sa’ad ibn Abi Waqqash. Suatu pagi, sekitar tahun 30 Hijri, terdengar  suara menggelegar dari dalam kelambu sutera milik sang Kisra.

‘’Celaka...! Kini aku tinggal punya seribu perawat kuda, seribu dayang-dayang dan seribu juru masak! Bagaimana aku bisa hidup?!’’

Kelak ketika Persia takluk, ‘Umar ibn Al Khaththab, sang amirul mukminin mengangkat Salman Al-Farisi sebagai Gubernur untuk bekas wilayah Kisra yang maha luas itu. Ya, orang yang tepat. Salman adalah orang paling tahu tentang seluk beluk kondisi geografis, demografis dan sosiologis Persia. Karena ini adalah tanah kelahiran dan tanah petualangannya.

Kalau Yazdajird III tidak bisa hidup hanya dengan 3.000 pelayan, maka kita lihat Salman Al-Farisi dengan wilayah dan wewenang yang sama dengan sang Kisra. Salman adalah seorang yang ahli menganyam. Pekerjaan yang tak pernah ia tinggalkan karena gajinya sebagai Gubernur selalu masuk ke Baitul Maal untuk kepentingan masyarakat. Salman hanya berpenghasilan 3 dirham sehari dari menganyam keranjang. Penghasilan 3 dirham Salman, sang Gubernur itu dibagi menjadi 3: 1 dirham untuk menafkahi keluarga, 1 dirham untuk bersedekah, 1 dirham untuk modal menganyam esok hari.
Selesai. Begitu simpel hidupnya. Sungguh mesra, dalam ringkasnya hidup. Sesosok pemimpin, yang luar biasa dalam karya.

Adakah Salman Salman yang lain di kota kita, Sahabat? Yang sederhana namun indah.Yang bersemangat dalam keikhlasan dan kejujuran. Namun sangat luar biasa, dalam karya.



Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Jeda . . .
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham | Distributed by Tech Leaps

Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top