[ Hujan Pertama di Bulan Juni ]

Pak Entis, begitu seorang teman mengenalkan namanya padaku, masih selalu bersemangat mengajari kami mengeja huruf-huruf Arab yang tertulis dalam mushaf. Membimbing kami untuk selalu memberikan hak pada setiap harakatnya:panjang-pendeknya, jelasnya samarnya, dengungnya, tahan nafasnya, lembutnya. Tak berubah sedikitpun. Meskipun di kelasnya malam ini hanya ada sejumlah jari dalam satu tangan. Hanya lima saja. Padahal minggu-minggu sebelumnya, di kelas malam kelas pra Tahsin akan diisi setidaknya dua kali lipat dari jumlah ini.

Kuperiksa absensi hari ini, kucoba menemukan nama-nama di kelas pagi dan sore. Sama saja. Hanya hitungan jari yang mengisi daftar absen. Ah, hari ini. Juni di tanggal yang kesembilan. Rasa-rasanya seisi bumi sedang ingin menyembunyikan diri dari dunia. Terdunduk lesu tak bergairah menatap langit yang sepagi sebelumnya dibalur mendung. Dan hujan lebat di sore harinya. Termasuk juga aku. Enggan beranjak dari hangatnya kamar kosan yang sempit saat akan berangkat ngaji malam itu.

Namun melihat Pak Entis yang senantiasa istiqamah: caranya mengajar, ketajaman pendengaran, kesabarannya, senyumnya, canda ringannya dan sedikit kajian ilmu di akhir kelasnya. Meningkatkan dosis rasa syukur dalam diriku. Betapa bahagianya bisa duduk dipertemukan dengan seorang dia dan pelajar-pelajar yang lain. Satu hingga satu setengah jam pertemuan yang inshaAllah berkualitas, mengisi jiwa yang dipenuhi masalah duniawi dengan siraman qur'ani. Ya, nurani ini haus akan siraman Qur'ani.

Aku termenung lagi di sepanjang perjalanan pulang. Menapaki semerbak wangi tanah dan aspal yang masih basah terbilas hujan. Menyumpah-serapahi diri sendiri yang masih tergopoh-gopoh terlambat saat akan berangkat ngaji. Andai saja, ada yang senantiasa mengingatkan dan membersamai keistiqamahan ini. Andai.

atviana.wordpress.com