dan nikmati setiap prosesnya.

Friday, December 19, 2014

[ Pulpen ]

Tak ada hal yang lebih luar biasa bagi seorang Viru Sahastrabuddhe selain pulpen Astronot miliknya. Tentunya setelah kebanggaan pada Imperial Campus of Engineering (ICE). Pulpen itu adalah simbol supremasi dan keagungannya sebagai kepala sekolah di kampus tersebut. Pulpen itu adalah manifestasi dari tingginya peradaban dan teknologi dunia Engineering dan Aorespace. Tahan di segala temperatur dan gravitasi. Butuh bermilyar-milyar dollar bagi para scientist meracik setiap inchi lekuk bentuknya. Hingga di setiap pidatonya di semester awal perkuliahan, dikeluarkannya pulpen itu dari sakunya dengan elegan. Ibarat menggandeng bidadari bercahaya dari dalam buaiannya. Dielus manis dan ia agungkan.

Mungkin ia telah menderita penyakit obsesif kompulsif, semacam kecanduan akut pada pulpen. Mungkin akibat penyakit akutnya itu juga, ia jadi bermusuhan tajam dengan Ranchoddas "Rancho" Shamaldas, bocah ingusan yang mencintai Engineering, dan mematahkan keagungannya pulpen Astronotnya dengan pensil. Buat apa menghabisakan bermilyar-milyar untuk sebuah pulpen, jika menulis di ruang angkasa bisa menggunakan pensil, toh juga tak bakalan macet karena termperatur dan gravitasi? Pertanyaan cerdas yang membuat wajah tempramen Profesor Virus seketika naik pitam, dan besulut dendam.

Penyakit kecanduannya sudah pada tahap kritis. Sehingga ia selalu mengkritisi apa saja yang dilakukan Rancho dan dua sahabatnya. Dan di saat paling kritis pula, saat anak perempuannya terpaksa melahirkan darurat di kampus karena banjir menggenang di mana-mana. Akhirnya ia menyerah. Dan menyerahkan pulpen Astronot kebanggaannya itu pada penyelamat cucunya, Rancho.

Baik, sekarang kita gulung layar film dan kembali ke dunia nyata, hari saat mentari membelah ufuk pagi. Sesaat setelah berseragam kerja putih abu-abu, aku menatap cermin dari spion motor yang kugantung di jeruji jendela. Memberikan lima enam sentuhan pada rambut yang kubelah pinggir. Kemudian bergeser satu setengah langkah ke kiri, mengecek satu persatu senjata yang harus ku sematkan pada seragam putih abu-abuku.



Di tempta kerjaku, pulpen seperti barang yang wajib dibawa setelah ID Card. Disempitkan pada dua slot khusus di lengan kiri atau diselipkan di saku kiri bersama sebuah notebook. Kadang tak hanya satu. Bisa sampai dua atau tiga, entah berbeda merek atau bermacam-macam warna. Dan tak jarang itu nanti masih ditambahi dengan macam-macam spidol, marker, stabilo, pensil, penggaris, obeng, tespen, kunci L, sampai duit receh, lembaran dua ribuan dan slip gaji. Ups, slip gaji. Jika dianalogikan, karyawan berseragam putih abu-abu itu ibarat prajurit infantri yang menyelempangkan sabuk peluru kaliber 7,62 x 51 mm di bahu untuk semongsong senapan M-60, lengkap dengan helm perang dan kacamata aviatornya. Berlagak layaknya Tom Cruise di film Top Gun.

Bedanya kaliber-kaliber itu hanyalah jajaran stationary dan tools untuk sasaran tembak checksheet, OK Judgement Mark, form yang beraneka ragam, laporan dan proposal, hingga sekedar tanda tangan. Keren bukan main, sebuah tanda tangan. Termasuk juga aku, yang terkadang mondar-mandir mengelilingi seisi pabrik dengan menenteng map. Mirip debt collector yang siap menagih utang kliennya yang menunggak. Tak lebih baik dari tukang kredit panci yang kesal panci jualannya tak kunjung lunas.

Kalau Profesor Virus punya pulpen Astronot, maka di tempat kerjaku ada pula pulpen idola. Pulpen Jepang, kata mereka. Sebuah Frixion Erasable Rollerball Pen. Pulpen ini memiliki teknologi yang lebih bisa diterima nalar manusia ketimbang milik Profesor Virus, aplikatif binti ajaib. Kau tulis, jika salah kau hapus saja dengan karet unik di bagian ujungnya. Mirip pensilnya Rancho, bukan? Menurutku pulpen ini menjadi idola karena ada embel-embel 'oleh-oleh dari Jepang'. Dan masih menjadi idola karena masih jarang dijual di Indonesia.

Aku selalu membawa dua buah pulpen dalam sakuku. Entah kenapa selalu tak aman kalau membawa satu buah. Padahal jika pulpen pertama tiba-tiba raib entah kemana, aku selalu memicingkan mata membuka history penggunaan pulpen di folder otak. Jika tak terlacak aku akan menyusuri lagi tempat-tempat yang sebelumnya kudatangai, alamak, satu pabrik lagi. Dan itu kulakukan. Aku sudah mulai tertular penyakit obsesif kompulsif-nya Profesor Virus. Takut kehilangan pulpen. Rasanya memakai pulpen kedua sangat berbeda goresannya jika pulpen pertama masih dalam status 'hilang'.

Ah, ini mungkin akibat ulah teman semasa SMK dulu. Akibat kejahatan berandal-berandal berkelamin pria semua, kecuali satu perempuan di kelasku. Tak jauh-jauh dari kompak meninggalkan satu mata pelajaran untuk bertaruh main futsal, kompak me-lobby guru agar mau mengajar di hari Senin seharian agar hari Selasa tak ada pelajaran untuk main play-station, kompak bermain sepak bola dengan kelas dan sekolah lain dalam satu lapangan sehingga satu gawang memiliki 7 kiper, dan kompak menuliskan nama Bapak-Bapak kami di bangku kelas, dengan pulpen bekas. Yang sudah macet. Agar ukirannya jadi nampak keren.

Dan kejahatan yang kumaksud soal penyakit takut kehilangan pulpen adalah ketika satu waktu, tingkat kehilangan pulpen di kelasku meningkat tajam. Ya ampun, pulpen seharga seribu lima ratus rupiah saja hilang. Padahal baru dipakai seminggu dua minggu. Ada malah yang hilang dalam hitungan hari . Harganya cuma seribu lima ratus rupiah saja, kawan. Jika dijual pun, anak TK yang baru mengeja A-B-C tak sudi menukarya dengan permen sunduk di tangannya. Ini sudah terlalu keterlaluan. Akhirnya kami menuduh satu dua anak yang sering jadi biang beberapa kejahatan kelas yang tadi kusebutkan. Dirampas tas slempang mereka dan ketika seisi tas dikeluarkan... Puluhan pulpen berjatuhan seperti tukang sate menumpahkan semua isi panggangannya. Isi tasnya hanya ada puluhan pulpen curian dan sebuah buku catatan saja. Ya ampun, kawan, kau akan menulis satu buah bukumu dengan pulpen sebanyak ini? Penyakit obsesif pulpen-mu lebih akut dan kritis ketimbang Profesor Virus dan aku. Hahaha

Sisi positifnya, dari dulu sampai sekarang aku suka corat-coret apa saja dengan pulpen milikku. Di hampir semua buku tulisku, dari dulu sampai sekarang, di halaman paling belakang. Tak ada satu pun yang bebas dari coret ceretan tak jelas. Apa saja, Beberapa malah seisi buku masih kosong kecuali halaman paling belakang. Kadang aku menggambar dengan pulpenku. Juga di halaman paling belakang. Dan itu selalu gagal. Jelek bukan main. Dan tolong, itu lupakan saja.

Sisi positifnya, aku mencintai pulpen. Aku berhasil menulis beberapa puisi. Hampir semuanya puisi cinta. Dan itu cinta yang galau semua. Ironisnya, beberapa kukirim ke orang yang dahulu kucinta. Aduh, galau itu termasuk hal yang positif gak sih? Tapi itu dulu, sekarang aku menulis dengan Alphabetic & Numeric Pad di keyboard laptopku. Di dashboard blog ini. Aku masih menulis tentang cinta. Eits...bukan cinta yang galau lagi tentunya. Picik nian jika cinta hanya soal kegalauan dan kegamangan. Belajar dari Andrea Hirata, kimia cinta yang kutulis tidak bersenyawa ke arah cinta picisan semacam itu.

Sisi positifnya aku bisa jatuh cinta. Amboii. Jatuh cinta, kawan...


Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

2 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Jeda . . .
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham | Distributed by Tech Leaps

Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top