dan nikmati setiap prosesnya.

Thursday, October 23, 2014

[ Sesederhana itu...Tak lebih ]

Pernah dulu, aku begitu menyukai matematika. Diantara semua mata pelajaran yang kuenyam dari masa SD hingga perkuliahan. Bagiku ia adalah pelajaran paling mudah dicerna. Dan dimengerti. Ketika hampir semua pelajaran lain cenderung mengandalkan hafalan yang tiap hari tiap bertambah banyak. Sedang kapasitas hafalan di otak sungguh terbatas. Matematika menyuguhkan penyederhanaan. Sesederhana rumus yang bagi kebanyakan orang justru menyulitkan.

Hei...rumus itu merupakan salah satu bentuk paling sederhana dalam menyelesaikan permasalahan. Pun jua hidup di dunia ini. Penat, letih, jenuh, tugas berpuluh-puluh, masalah bercampur aduk dan kewajiban bertumpuk-tumpuk.

Kita, kini hidup di masa "Maalikan Jabariyan", sesuai pesan dari Rasulullah shalallahu 'alaihis salam. Masanya para pemimpin-pemimpin yang zalim. Masa dimana umat muslim yang banyak ini, kini diombang-ambingkan dengan berbagai kemajuan zaman. Teknologi, informasi juga budaya. Hingga serasa menjadi muslim seperti kehilangan identitas. Identitasnya tercampur aduk (atau lebih tepatnya, dicampur aduk) di pusaran zaman yang kata kebanyakan orang, zaman modern. 

Jika begitu, benarkah disebut kemajuan? Atau sesungguhnya hanyalah kemunduran yang kasat di bola mata?

Kenakalan remaja, kriminalitas, pergaulan bebas di level bawah. Hingga saking bebasnya mereka, para pendukungnya berteriak dengan lantang. Ini hak kami. Hak asasi kami. Akhirnya hak asasi dijadikan sandaran. Kedaulatan ada di tangan rakyat, pembelaan mereka. Sampai saking bebasnya, di salah satu berita di televisi kemarin diucapan dengan begitu lancang. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Astaghfirullah. 

Korupsi, perebutan jabatan, suap sana sini di level atasnya pun sepertinya sudah menjadi hal yang biasa. Hingga saking biasanya, nenek-nenek yang mencuri singkong untuk memberi makan keluarganya yang miskin harus dipersidangkan di depan hakim. Sedangkan yang menyelewengkan jutaan, milyaran, trilyunan uang rakyat untuk membeli perhiasan dunia dibiarkan duduk manis di kursinya. Sungguh tiran. Tak ubahnya Fir'aun dan para pengikutnya. Memanglah pantas disebut zamannya pemimpin-pemimpin yang zalim. Naudzubillah.

Jika begitu adanya, benarkah disebut kemajuan? Atau sesungguhnya hanyalah kemunduran yang kasat di bola mata?

Pelik memang. Tetapi sadarkah kita bahwa semua itu bisa disederhanakan? 

Sesederhana menjadi pemimpin.
Tak perlulah Anda mengajukan diri, berkata dengan lantang. "Saya akan menjadi pemimpin kalian. Yang akan..." Stop. Cukup. Tak perlu Anda lanjutkan, wahai calon pemimpin. Belajarlah dari mereka yang sudah dijamin masuk ke Surga yang abadi. Dari Abu Baks Ash Shiddiq, 'Umar ibn Al Khaththab, Utsman bin 'Affan dan Ali bin Abi Thalib. Yang gemetar sekujur badannya ketika menerima amanah yang berat sebagai Amirul Mukminin. Bahwa setiap biji dzarrah ketidak-adilan sang pemimpin terhadap rakyatnya, akan menambah timbangan dosa saat Hari Hisab tiba.

Sesedehana menjadi pemimpin muslim.
Yang ketika seorang Kisra di Persia mengeluh, tak mampu hidup hidup dengan 1000 perawat kuda, 1000 dayang-dayang dan 1000 juru masak. Maka ketika ia ditaklukkan Islam ditunjuklah Salman Al Farisi oleh 'Umar ibn Al Khaththab menggantikannya. Salman Al Farisi hanya berpenghasilan 3 dirham sehari dari menganyam keranjang. Gajinya sebagai gubernur adalah hak untuk Baitul Mal. Penghasilan 3 dirham Salman dibagi menjadi 3: 1 dirham untuk menafkahi keluarga, 1 dirham untuk bersedekah, 1 dirham untuk modal menganyam esok hari.

Sesederhana menjadi yang dipimpin.
Cobalah taat jika peraturan itu tak melanggar syariat. Cobalah sabar menunggu lampu hijau menyala ketika akan melintas di hiruk pikuknya jalanan. Sabarlah berjalan di jalur anda tanpa mengambil hak pengguna jalan yang lain. Sabarlah mengantri makan siang, mengantri pelayanan kesehatan, mengantri pelayanan kepolisian. Sabarlah menyimpan bungkus dan plastik di saku anda agar tak terbuang sembarangan, mengotori jalan. Sabarlah dengan berapapun rizki yang sudah Tuhan titipkan pada anda. Bersabarlah, sebagaimana pesan dari 'Umar ibn Al Khaththab, jadikannlah sabar dan syukur sebagai tunggangan.

Sesederhana menjadi yang diri pribadi.
Ingatlah segala yang melekat di badanmu adalah titipan, yang nanti akan diambil Empunyanya. Bahwa ia akan dipertanggungjawabkan. Mesti hanya sebatang pulpen yang anda ambil dari tempat kerja anda, lalu anda berikan untuk anak-anak anda untuk bersekolah. Hindarilah. Belajarlah dari kakek paling agung sepanjang zaman, Rasulullah shalallahu 'alaihis salam, kepada cucunya Al Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib. Saat Al Hasan kecil mengambil kurma sedekah dan dimasukkan ke dalam mulutnya. Nabi pun bersabda, "hekh..hekh...hekh...Keluarkan Nak!".

Sesederhana menjadi pribadi muslim,
Yang selalu berusaha menjaga dirinya dari bersentuhan dengan yang bukan halal untuknya. Yang berusaha menundukkan pandangan matanya. Yang keduanya itu adalah yang paling mudah mengantarkan godaan. Yang jika kita langgar, para syaithan akan sangat berbahagia dan bersuka ria. Yang jika kita kerjakan, kebanyakan orang akan beranggapan aneh terhadap kita. Maka cukuplah satu ketaatan teguh untuk kita, dari redaksi Al Qur'an Surat An Nur 30-31. "...Dan hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya..."

Barangkali memang hal-hal yang pelik di kehidupan sekarang disebabkan kita terlalu meremeh temehkan hal yang sederhana. Terutama soal makanan, pakaian dan gaya hidup.

Barangkali korupsi yang menjadi jadi di negara ini disebabkan karena terkotorinya asupan makanan anak kita di masa kecil dengan harta yang syubhat apalagi haram. Barangkali jauhnya kesenjangan sosial di negara ini disebabkan karena kita ingin memisahkan zakat dan sedekah dari agama. 

Barangkali banyaknya kasus asusila di negara ini disebabkan kita yang tak mau menjaga aurat juga menahan segala pandangan dan sentuhan tangan.

Sesederhana itu. Tak lebih.

Namun seperti halnya rumus matematika yang begitu sederhana, banyak orang yang coba menjauhinya. Enggan mempelajarinya. "Udah deh, nanti nyontek saja saat ujian." Kata mereka saat akan menerima pelajarannya. Dan kini bisa kita lihat. Kita terlampau mudah mencontek budaya bangsa lain.

Begitu mudahnya mencampur adukkan hal yang diharamkan dan dihalalkan.
Astaghfirullah.

Saya kasih contohnya. Suatu ketika sahabatku berkata dalam penantiannya menuju pelaminan. Ia katakan, "Ibarat saat ini dinda sedang memakai celak dimata, masih 3 kilo lagi sampai disana, 3 bulan lagi sampai. Kupanggil ia cinta sembari menikmati perjalanan dan sejuknya pagi pun tak boleh?" 

Aku pun hanya bisa menjawab, "Nikmati perjalanan seperti biasa, pun nikmati sejuknya pagi dengan menundukkan diri pada kuasa Rabbi. Tak ada jaminan sampai bulan ketiga masih ada sisa umur, masih mau mengatasnamakan cinta kepada yg belum dihalalkan?" Sesederhana itu saja. Tak lebih.
 
Akhi, semoga engkau dan juga kita semua selalu diberikan keistiqamahan dalam menyelami kehidupan ini. Istiqamah dalam hidup yang begitu ringkas. Istiqamah menjalankan syariat, walau terkadang rasanya berat.
Sesederhana itu. Tak lebih.
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Jeda . . .
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham | Distributed by Tech Leaps

Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top