dan nikmati setiap prosesnya.

Monday, December 30, 2013

[ Day 10 : Lavender ]

Desember tahun ini semakin berakhir. Namun tak berlaku untuk hujan yang tiap hari semakin betah turun mengalir. Hampir setap sore aku berpayah payah pulang kerja menembus hujan dengan ponco yang kian rombeng, bolong di sudut sana sini. Atau paling tidak hujan gerimis kecil-kecil akan membuatku nekat menempuh 20 menit perjalanan hanya berjaket kain yang pasti basah sesampainya di kos-kosan.

Biasanya aku langsung merebahkan badah yang kian batuk serau ini ke dua tumpuk kasur tipis yang kubalut dengan sprei ungu bercorak daun hijau besar-besar. Sekejap memejam mata kemudian terbangun lagi, termangu menikmati sekujur tulang belakang yang gemeretak. Sepertinya malam ini bakal seperti malam yang lain-lain. Aku hanya meneguk segelas air putih dari dispenser yang kemarin baru kubeli, juga dengan warna ungu. Kemudian aku rebahan lagi di kasur meredam gemeretak tulang sambil mata terbuka menatap terang lampu di atap plafon yang putih.

Batuk ini semakin menjadi-jadi saja. Menyebar ke seluruh saluran tenggorokan hingga ujung hidung. Menyumbat aroma bunga lavender dari kotak pewangi ungu di atas almari yang bisanya kuhirup dalam-dalam. Aku pun semakin terdiam. Meninggalkan halaman-halaman dua tumpuk buku baru yang belum selesai terbaca. Melupakan sejuk air mandi di bak-bak penampungan.

Tanpa berlama-lama, mataku mulai terpejam. Namun benakku mulai berlari riang. Mencipta ruang dan waktunya sendiri. Membawa tubuh yang kurus lunglai dalam dimensinya yang lain.
Ah, aku rindu aroma lavender ini.............

-------oOo-------

Aku sedang berjalan menanjak menapaki setapak diantara dua bukit kecil. Dengan tas ransel besar aku tergopoh gopoh menyelesaikan tantangan ini. Katanya jika kita mampu menyelesaikan satu tanjakan panjang ini tanpa istirahat dan menoleh ke belakang satu pandang pun, cinta kita bakal abadi. Mungkin seabadi birunya air danau Ranu Kumbolo tepat di belakangku. Udara yang semakin berat karena kabut yang kian rapat tak menyurutkan langkah kaki yang juga mulai terisak. Haaaah, 20 menit berselang sampailah aku di ujung Tanjakan Cinta di kaki gunung Semeru yang melegenda. Berteduh di bawah cemara-cemara kecil yang memberikan kabut lebih banyak, juga air embun yang makin riak.

Sebenarnya musim hujan di bulan Maret-Juni bukanlah waktu yang tepat untuk berkunjung ke sana. Tanahnya yang berdebu kering sepanjang treknya akan menjadi tanah berlumpur. Sedang di kanan-kirinya, gunung-gunung kecil menjulang gagah dengan hutannya yang tinggi lebat. Namun aku memaksakan diri berkunjung ke sana. Bukan untuk puncaknya yang tertinggi di pulau Jawa. Tapi untuk padang savana Oro-Oro Ombo yang bermetamorfosis menjadi tanah Eropa selatan. Dipenuhi dengan bunga Verbena Rasiliensis Vell yang berwarna ungu mirip taman bunga lavender di Provence, negeri Prancis.

Oro-Oro Ombo (from Google)
Setelah menghabiskan beberapa teguk air di bawah cemara itu, aku bergegas menyapa padang savana di balik dua bukit kecil yang baru setengah kulewati. Menuruni turunan bukit dan kulapangkan kedua tangan yang membeku di balik mantel. Mengeluarkan jemari yang gemerincing sesaat setelah sarung tangan kulepas. Menyambut bunga bunga kecilnya yang bening, sebening air embun di pucuk-pucuk tunasnya. Kudekatkan penciumanku padanya, merasakan semerbak wangi dari putik-putiknya.

Oro-Oro Ombo (from Google)
Ingin rasanya segera membanting ransel besar ini. Mengeluarkan tenda dan perbekalan. Semalam menginap dalam tenda di tengah-tengahnya. Namun semakin sore hujan semakin cepat menyergap. Mengeraskan suara batuk dari dalam tenggorokan.

-------oOo-------


Dan batuk itu pula yang kembali menyadarkanku dari benak-benak di lingkar otak yang mulai sadar. Kudapati aku kembali di rebahan kasur dengan batuk yang kian keras. Untung saja semua tetangga kosanku berpulang ke kampung. Jadi tak terlalu menggangu tidur mereka. 
Sudah hampir jam 9 malam. Aku beranjak menuju aroma lavender di atas almari itu. Kudekatkan ujung hidung tuk merasa kembali wanginya. Namun sama saja, Tak ada rasa yang kukecap. Lendir-lendir ini sukses menghilangkan nuansa malam ini.

Aku pun keluar. Berdiri sendiri di ujung lantai dua yang menghadap jalanan. Meraih bulir-bulir gerimis hujan yang masih saja turun. Memandang sejurus langit selatan di depanku. Mengingat-ingat kembali mimpi yang baru saja mendatangiku. 
Ah, andai saja tahun lalu aku ke Semeru di bulan-bulan penghujan itu, pasti satu mimpi ini akan terlunasi.

Dan aku bisa melanjutkan mimpiku yang selanjutnya di padang lavender berkutnya, di selatan Eropa. Berdingin-dingin oleh sejuknya kaki gunung Alpen. Duduk khusyuk di atas dipan kayu, tepat di bawah pohon yang rindang. Menatap janjang-janjang bunganya yang ditanam panjang-panjang. Menapaki halaman-halaman buku yang belum selesai terbaca.
Berlama-lama..... hingga senja pun menyapa.

Provence (from Google)
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

2 comments

  1. Oro-oro ombo... entah ini mimpi atau bagaimana kejadiannya. Tapi prediksiku mas yang satu ini sudah pernah ke semeru deeeeh.... tidaaak! *kemudian iri*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tentang semeru kutulis sampai 5 postingan.... :>)
      Hahahaa

      Delete

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Jeda . . .
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham | Distributed by Tech Leaps

Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top